Rabu, 20 Juli 2011

RUU Pemilu dan Harapan




Jika tidak mundur lagi dari jadwal, draf perubahan atas undang-undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD akan disahkan pada rapat paripurna pekan ini. Pembahasan di Badan Legislasi DPR mencuatkan perdebatan panjang mengenai ambang batas parlemen (Kompas, 18 Juli 2011).

Sepenggal paragraf diatas merupakan kalimat pembuka dari sebuah artikel yang berjudul “RUU Pemilu : Baru Pertempuran Awal…”. Artikel tersebut menarik dengan menunjukan bagaimana sebuah partai politik mencoba menjaga eksistensinya di parlemen. Artikel tersebut menbahas bagaimana ambang batas parlemen mampu menenggelamkan sebuah partai untuk tetap ada di jajaran kekuasaan.

Sejauh ini terdapat dua pendapat di tingkat DPR mengenai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yaitu peningkatan secara bertahap hingga 3 persen saja dan peningkatan yang signifikan hingga 5 persen. Kedua argumen tersebut muncul dari partai menengah yang menjaga eksistensinya dan partai besar yang ingin menjaga kestabilannya.

Partai menengah mempertahankan batas hingga 3 persen bermaksud untuk menjaga aspirasi masyarakat agar tersampaikan di parlemen. Setidaknya terpenuhi amanat UUD 1945 mengenai Hak asasi manusia yang didalamnya kebebasan penyampaian pendapat dan berpolitik. Didalam parlemen terdapat berbagai warna sebagai sebuah wujud keragaman didalam membangun bangsa. Jumlah partai tidak akan jauh dengan saat ini atau hanya berjumlah 5-8 partai.

Kelemahan dari penetapan ambang sebesar 3 persen adaalah pelaksanaan pemerintahan yang berjalan tidak stabil. Jumlah partai yang terlalu banyak berbanding terbalik dengan banyaknya kepentingan di legislatif dan pada akhirnya berdampak pada pemerintah. Pemerintah akan sibuk mengurus perang kepentingan, sehingga pada akhirnya sulit mencapai kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini telah terbukti pada pemerintahan 2009-2014 yang di pimpin Bapak SBY. Terbentuknya Sekretariat gabungan merupakan bukti tidak stabilnya pemerintahan dan tempat berkumpulnya beberapa kepentingan. Pada akhirnya tugas legislatif melemah dengan negosiasi politik yang berkiblat kepada kepentingan.

Tawaran kedua adalah peningkatan Parliamentary threshold yang mencapai 5 persen. Hal tersebut diperkirakan pada akhirnya akan menyisakan 2-5 partai politik. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) tentu tidak akan ada di parlemen apabila kebijakan ini diberlakukan pada 2009, sedangkan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pun dalam kondisi genting. Jumlah partai yang lebih sedikit pada akhirnya akan meningkatkan konsentrasi pemerintah didalam menjalankan kebijakannya. Partai akan menunjukan karakternya dan berlomba didalam mensejahtrakan masyarakat, karena ketidak berpihakan kebijakan akan berdampak ditinggalkannya partai oleh pemilik suara. Selain itu, tidak akan berdirinya partai asal-asalan guna ikut serta di pemilu. Partai yang bertahan adalah partai yang memiliki idiologi yang kuat dan memiliki visi yang baik.

Kelemahan dari kebijakan ini adalah akan hilangnya suara rakyat apabila memilih partai yang tidak lolos ambang batas. Partai baru akan sulit hidup sehingga menghambat masyarakat didalam menyampaikan aspirasi apabila partai yang ada belum mampu memberikan celah yang sesuai dengan aspirasi yang ingin disampaikan. Dengan kebijakan ini, seakan-akan kebebasan berpendapat dan berpolitik dihambat secara sistematik namun belum tentu melanggar Undang-undang Dasar negara.

RUU Pemilu dan harapan
Perang kepentingan didalam pembahasan RUU Pemilu diperkirakan akan berlarut-larut. Kubu dengan kemungkinan memperoleh suara yang kecil akan setengah mati memperjuangkan pembatasan maksimal hanya 3 persen. Rancangan undang-undang tersebut akan menghambat kinerja Anggota DPR pada akhirnya.

Apabila melihat kondisi yang terjadi, saya sebagai mahasiswa mengharapkan segala pihak untuk mampu mengfokuskan kepada kesejahteraan masyarakat yang semakin diabaikan. Bangsa ini tidak memiliki waktu banyak didalam mengubah masa depan sebagian besar masyarakatnya. Sudah seharusnya setiap pihak melepaskan kepentingan sesaat, yang pada akhirnya akan menenggelamkan bangsa ini.

Saya berpendapat sudah saatnya Parliamentary threshold ditingkatkan hingga mendekati 10 persen, bahkan lebih dari itu. Sudah saatnya maksimal hanya ada tiga partai politik di Indonesia. Hal tersebut guna menghasilkan pemerintahan yang stabil dan terjadinya hubungan yang saling melengkapi diantara pemerintah dan parlemen. Indonesia dengan sistem presidensilnya harus mampu melaksanakan pemerintahan yang baik dengan parlemen sebagai penyeimbang dan tidak hanya alat “stempel” pemerintah.

Kebijakan ini pada akhirnya akan menunjukan partai mana yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat didalam mencapai kesejahteraan. Partai akan menunjukan karakternya dan berlomba didalam menyampaikan program. Tidak ada partai abu-abu yang bersifat oportunis didalam jual beli kepentingan. Tidak ada lagi sekretariat gabungan sebagai pasar jual beli kepentingan. Setiap kebijakan akan saling mengkoreksi didalam mencapai ketepatan. Pada akhirnya, akan terjadi kompetisi yang sehat didalam peningkatan kesejahteraan rakyat dan partai dengan visi terbaik yang akan memimpin rakyatnya didalam mencapi kemakmuran dan kesejahteraan.

2 komentar:

  1. saya kok pesimis, liat aja anggota (mantan)KPU skrg, bermasalah semua....

    BalasHapus
  2. sama mas, saya juga pesimis.
    semoga masyarakat akan semakin cerdas didalam menentukan pilihan.
    biarkan orang terhormat tersebut berperang dengan kepentingannya.
    Akan datang waktunya dimana segalanya akan menuju jalan yang baik lagi
    di butuhkan pembelajaran dan pencerdasan didalam mencapai kondisi yang paling ideal tersebut.

    BalasHapus