Jumat, 28 Januari 2011

Pangan, oh pangan


Laporan keadaan pangan dunia yang disampaikan Lestern R Brown yang merupakan presiden dari Earth Policy Institute, sungguh mencengangkan dan cukup menjelaskan bahwa dunia sedang dihadapkan masalah yang sangat serius. Berdasarkan Artikelnya yang berjudul The Great Food Crisis Of 2011 Yang dipublikasikan oleh Foreign Policy, ketahanan pangan dunia merupakan masalah yang ada didepan mata dan sulit dihindari. Hal ini ditandai tingginya harga pangan dunia terutama gandum. India digoncang inflasi pangan hingga 18 persen dan mendapat protes keras dari masyarakatnya. Kerusuhan terjadi di Algeria. Hingga Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa indeks harga pangan yang tinggi pada Desember 2010 akan berdampak panjang selama tahun 2011. Laporan tersebut menyampaikan pula bahwa penyebab dari meledaknya kebutuhan pangan tidak hanya mempermasalahkan iklim yang tidak stabil, melainkan peningkatan jumlah penduduk yang signifikan, kesejahteraan masyarakat dunia yang meningkat, hingga penggunaan pangan sebagai bahan bakar terbarukan. Disebutkan pula dampak signifikan akan sangat dirasakan oleh negara-negara yang berpenduduk sangat besar terutama India, Indonesia ,dan China.
Untuk Indonesia sendiri, Prof.Dr.Ir.Bungaran Saragih, M.Ec (Guru besar Emeritus Departemen Agribisnis FEM IPB) memproyeksikan bila program keluarga berencana berhasil dijalankan, maka pada 2035 penduduk Indonesia akan mencapa 350 juta jiwa. Dengan keadaan saat ini, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia akan beras telah mencapai 139 kg per kapita, sehingga dibutuhkan sekitar 50 juta ton beras dengan membutuhkan 11 juta ha dengan produktivitas rata-rata 5 ton GKG per hektar. Sungguh data yang menunjukan ketergantungan kita pada salah satu komoditas beserta tantangannya di masa depan.
Bahkan pada awal tahun 2011, Indonesia di kagetkan oleh harga pangan yang melonjak naik dengan ditandai oleh inflasi keseluruhan pangan sebesar 15,6 persen yang ditandai inflasi beras yang mencapai 30,1 persen bahkan cabai yang mencapai 140,1 persen. Pemerintah menyadari bahwa bahaya kerawanan pangan mengancam dan menyadari langkah kongkrit dibutuhkan. Oleh karena itu, pada 7 Januari 2011 pemerintah yang diwakilkan Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan didampingi Mentri Pertanian Suswono menyampaikan bahwa Bea masuk (BM) dibebaskan untuk pangan yaitu beras, gandum, kedelai dan pangan ternak . Terbukti, Badan Pusat Statistik pada 22 Januari 2011 menyampaikan bahwa kebijakan tersebut efektif menahan laju Inflasi.
Kebijakan pangan pemerintah tersebut sesungguhnya merupakan kebijakan yang berdampak positif dalam jangka waktu yang singkat. Akan tetapi dalam jangka waktu tertentu akan menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia. Kebijakan tersebut berpihak kepada masyarakat non usahatani, akan tetapi menenggelamkan kesempatan petani Indonesia didalam memperoleh kesejahteraan dari menguatnya harga pangan.
Dibutuhkan kebijakan jangka panjang yang mampu memberikan alternatif nyata bagi penguatan ketahanan pangan nasional. Solusi jangka pendek tersebut sulit menjawab tantangan yang akan terjadi, terutama menghadapi membengkaknya penduduk Indonesia dan ketergantungan akan beras sebagai pangan utama. Pemerintah seharusnya memberikan sedikit kesempatan petani dalam menikmati kesejahteraan. Solusi jangka panjang seharusnya sudah mulai digiatkan.
Solusi yang bisa ditawarkan adalah kembali menghidupkan kearifan lokal setiap daerah didalam memenuhi kebutuhan pangannya. Sudah menjadi rahasia bahwa telah terjadi kesalahan kebijakan pangan pada orde yang lalu selama 32 tahun didalam menyeragamkan pangan diseluruh Indonesia. Nasi merupakan pangan utama sebagian besar masyarakat Indonesia. Ketergantungan akut nyata dirasakan masyarakat Indonesia. Sedikit pergeseran selera konsumen memang terjadi, akan tetapi sayang bergeser ke tepung terigu yang jelas negara kita tergantung 100 persen terhadap impor.
Peluang kembali mengaktifkan pangan lokal merupakan harapan baru didalam menghidupi bangsa ini. Mungkin menjadi wacana yang panjang didalam merubah mindset masyarakat didalam merubah pola konsumsi akan tetapi wajib dilakukan sebelum semuanya terlambat. Ubi jalar, singkong, sagu, sorgum, talas, jagung dan sumber pangan lainya yang dianggap marjinal berpotensi besar didalam memberikan solusi pemenuhan pangan nasional. Kunci utama yang harus dilakukan pemerintah cukup memberikan support pada penelitian diversifikasi pangan, memperkenalkan kembali kepada masyarakat dan menjaga mudahnya akses bagi masyarakat terhadap pangan alternatif tersebut.
Apabila bisa digiatkan kembali kearifan lokal, negara ini jangan pernah takut kekurangan pangan karena kita sangat kaya. Sangat kaya, walaupun kita tidak menyadarinya.

Rendi Seftian
One Day No rice Campaign
Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Rabu, 19 Januari 2011

Kepemimpinan Bisnis : Profil FADEL MUHAMMAD


Modal Fadel dalam berusaha adalah haqqul yakin, keyakinan kuat. Tantangan itu bukan hambatan, kalau dihadapi dengan ulet dan tekun, serta kerja keras, tidak ada masalah. Selalu ada problem solving. Salah satu yang paling tidak disukai Fadel adalah, bila ada temannya yang tidak mau berusaha mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapinya sendiri atau problem yang dihadapi bersama. “Allah tidak akan mengubah nasib seseorang jika orang itu sendiri tidak berusaha merubahnya,” (Fadel Muhammad).
Fadel selalu berfikir, kalau orang lain bisa kenapa kita tidak. Ia memang punya watak selalu ingin maju. Sebagai contoh, ketika Bukaka membuat mesin asphalt sprayer (aspal semprot). Percobaan-percobaan di bengkel Bukaka itu selalu gagal. Hasil yang keluar dari mesin adalah bubur, bukan aspal. Fadel penasaran. Mesin yang dikerjakan berhari-hari itu dibongkar. Lalu ketahuan bahwa komponen magnet dan motornya nggak jalan. Begitu komponennya diganti, bagus hasilnya. Bagi Fadel dkk, selama masih bisa dicoba nggak ada kata menyerah.
Fadel berprinsip “Man jadda wa jadda” siapa yang berusaha akan berhasil juga akhirnya. Tetapi semua itu ada batasnya. Kalau semua cara sudah dicoba, masih mentok juga, apa boleh buat, tidak perlu kecewa, Tawakal kepada Allah SWT, ujar Fadel yang menunaikan hajinya tahun 1989.
Keberhasilan seseorang menurut Fadel, disamping kerja keras dan terus menerus, sangat tergantung pada, pertama, kemampuan diri sendiri. Kedua, kesempatan untuk mengembangkan diri. Ketika, strategi untuk mencapai keberhasilan.
Menurut Fadel, setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pengusaha. Yang penting, asal mau berusaha mengasah potensi itu. Tetapi tidak setiap orang berpotensi, mendapatkan kesempatan mengembangkan potensinya. Untuk mendapatkan kesempatan ini, jelas dibutuhkan strategi yang tepat. Strategi inilah yang akan menentukan, apakah seseorang akan menjadi ‘risk taker’ (pengambil risiko), atau ‘risk orderer’ (pengatur risiko).
Perbedaan yang tajam antara kedua tipe pengusaha ini adalah: Seorang risk – taker cenderung untuk berspekulasi. Tanpa memperhitungkan secara cermat, ia mencoba setiap kemungkingan. Seorang risk-orderer akan memperhitungkan risiko terkecil sekalipun, terhadap rencana-rencananya. Sesuai dengan prinsip dasar ekonomi.
Menurut Fadel kesuksesan seseorang tergantung pada kemauannya yang kuat, rasa percaya diri yang tinggi, dan kemampuannya menghitung risiko. Kemauan akan mendorong kegigihan untuk berusaha. Hal ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh empat hal yaitu, Pertama, Orang tua, terutama ibu sebagai pendidik masa awal. Kedua, pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan agama. Ketiga, lingkungan, dan keberuntungan atas kemampuan membaca kesempatan, Keempat
Rasa percaya diri menurut Fadel, dipengaruhi oleh diberikannya kesempatan untuk maju, sehingga menyadari potensi diri yang sebenarnya. Sedangkan kemampuan menghitung risiko dipengaruhi oleh:
a. Tingkat kesabaran usaha yang tinggi
b. Perenungan yang mendalam, sehingga ide itu dapat mengkristal dalam pikiran. Jangan cepat bosanlah.
Syarat-syarat di atas merupakan persiapan mental seorang pengusaha pemula untuk mencapai kematangan. Untuk itu harus ada tiga fase yang dilalui yaitu:
1. Fase New Venture (awal) – tingkatan penemuan ide dan pelaksanaan ide itu sendiri.
2. Fase Puberty – Masa pencarian identitas usaha yang mampan
3. Fase Mature (propesional) – Sudah matang dan mampu mendatangkan keuntungan.
Tingkatan-tingkatan tersebut harus dilalui secara berurutan. Tidak boleh melompat-lompat. Falsafah utamanya adalah: “Jangan dulu memperbesar usaha, sebelum dasar usaha – yang menjadi tulang punggung perusahaan – diperkuat. Maka jangan heran kalau pabrik Bukaka sampai sekarang tidak nampak mentereng. Sebab yang dipentingkan adalah kekuatan pabrik itu sendiri, baik peralatannya yang lengkap maupun sumber daya manusianya,” tutur Fadel.
Kini, Fadel telah mencapai sukses. Ia mampu menafkahi ibu dan saudara-saudaranya, setelah ayahnya meninggal tahun 1988. ia pun sudah memiliki keluarga yang sejahtera. Apalagi yang ia cita-citakan? “Saya ingin mempekerjakan lebih banyak orang. Ingin membagi keberhasilan ini kepada orang lain. Disamping itu, saya ingin agar “Today is better than yesterday” hari ini lebih baik dari hari kemarin,” ujarnya.
Fadel memang punya nilai di mata bangsa kita. Dengan modal rasa percaya diri yang kuat plus semangat yanga keras, Fadel menjadi salah seorang Putra Indonesia yang mampu menjadi kebanggaan bangsanya.

Dari berbagai Sumber

Kepemimpinan Bisnis : Profil ARIFIN PANIGORO RAJA MINYAK YANG AKTIF DI POLITIK


Sebelum Orde Baru tumbang tahun 1998, nama Arifin Panigoro hanya dikenal kalangan terbatas sebagai pengusaha di bidang perminyakan. Lingkaran pergaulannya lebih banyak dengan Pertamina dan pengusaha perminyakan internasional. Namun, ketika reformasi tengah “hamil tua” yang ditandai dengan maraknya aksi demonstrasi mahasiswa, kesadaran politik Arifin bangkit. Ia telah menjadi simbol kebangkitan politik pengusaha. Tidak hanya itu, ia turut serta secara aktif membantu pergerakan mahasiswa, termasuk menyiapkan nasi bungkus untuk dikirim kepada mahasiswa yang tengah menggelar aksi di Gedung DPR Senayan, Jakarta.
Alumni Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973 ini memulai usahanya tidak langsung menjadi bos di Meta Epsi Drilling Company (Medco). Sebelum tahun 1980-an, awalnya ia cuma sebagai kontraktor instalasi listrik door to door. Selanjutnya memulai proyek pemasangan pipa secara kecil-kecilan. Begitu ada proyek yang berdiameter besar, hal itu bukan porsi pengusaha lokal, melainkan pengusaha asing. Jadi, setiap Pertamina melakukan tender untuk pemasangan pipa besar, maka perusahaan asing yang menang karena untuk pipaline butuh peralatan berat. Peralatan itu umumnya hanya dimiliki oleh perusahaan asing.
Kondisi itu membuatnya berpikir, sebaiknya pengusaha lokal pun diberi kesempatan atau dibantu untuk bisa menangani pemasangan pipa besar dan tidak hanya diberi pekerjaan yang kecil-kecil. Tahun 1981 ia memberanikan diri untuk mulai masuk proyek pipanisasi yang berdiameter besar. Untuk pekerjaan itu, ia bekerja sama dengan perusahaan asing. Deal-nya, bila satu proyek selesai, bagi hasilnya adalah peralatan itu. Mitra setuju, proyek pun selesai. Sejak itu dengan alat tersebut ia mencari proyek ke mana-mana.
Selain menggandeng mitra asing, dukungan dan proteksi dari pemerintah amat diperlukan. Tidak mungkin pengusaha lokal yang baru berdiri dan tidak memiliki pengalaman dapat tiba-tiba bersaing dengan perusahaan asing yang berpengalaman di bidang perminyakan selama puluhan tahun. Menggandeng mitra luar dan dukungan pemerintah itu merupakan cara pengusaha lokal bisa membuka pintu ke bidang bisnis yang lebih luas. Dengan begitu, persaingan dengan perusahaan asing bisa dilakukan.
Semuanya dimulai dari tahapan membiasakan pengusaha lokal mengerjakan proyek besar. Contoh yang dialaminya dengan bendera usaha Medco tejadi pada tahun 1979-1980 ketika terjadi oil boom, Sekretariat Negara mengambil inisiatif untuk membangun kilang minyak karena ada tambahan anggaran. Pada saat itu, pemerintah berkeinginan untuk menyelipkan unsur pembinaan bagi pengusaha lokal, termasuk Medco. Saat itu, dalam pembangunan Kilang Cilacap, Medco dikawinkan dengan satu perusahaan asal Amerika Serikat. Akhirnya, Medco yang tidak tahu apa-apa tentang pemasangan pipa, menjadi mengerti.
Demikian juga saat memulai usaha pengeboran minyak tahun 1981, juga tak lepas dari bantuan pemerintah. Menurut Arifin, tahun itulah titik awal Medco menjadi besar. Pada waktu itu, ia memiliki kedekatan dengan Dirjen Migas Wiharso yang menginginkan ada pengusaha lokal dalam proyek jasa pengeboran. Kebetulan ada penyertaan modal pemerintah ke Pertamina, yang mau melakukan pengeboran gas di Sumatera Selatan.
Pemerintah mendorongnya untuk ikut tender, meskipun tidak punya peralatan ngebor. Pemerintah memanggil perusahaan asing yang berpeluang menang diminta untuk menyewakan alat, atau memakai orang-orang Medco sebagai mitra. Tujuan pemerintah waktu itu adalah untuk membesarkan pengusaha lokal. Namun, tanggapan dari perusahaan asing itu membuat Pak Wiharso tersingung dan batal. Lalu Pak Wiharso memintanya menggarap proyek itu sendirian. Arifin sama sekali tidak percaya dengan keputusan itu karena ia tidak memiliki pengalaman melakukan pengeboran.
Hasilnya, ia kelabakan karena proyek yang ditenderkan tahun 1979 sudah harus mulai dikerjakan pada tahun 1980. Dengan perasaan yakin, ia pun terima tantangan itu. Tahap awal ia instruksikan staf yang memiliki kemampuan bahasa Inggris untuk menjajaki pusat penjualan peralatan pengeboran di AS. Baru setelah ada kepastian dan diketahui harganya, ia terbang dari Jakarta ke Houston, AS. Perjalanan itu merupakan pengalaman pertamanya ke AS. Bermodal "bahasa Inggris Tarzan" dan uang 300.000 dollar AS, ia melakukan deal dengan pemilik barang. Hasilnya, deal berlangsung buruk.
Penjual barang meminta dalam waktu dua minggu barang seharga 4 juta dollar AS sudah dibayar, kalau tidak maka uang muka 300.000 dollar AS hangus. Ia terpaksa menerima syarat itu karena posisi tawarannya yang jelek. Setelah itu ia langsung terbang ke Indonesia. Saking panjangnya perjalanan dengan tiket ekonomi, tiba di Indonesia langsung sakit. Namun, dengan kondisi yang berat ia berusaha menemui Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, lalu ke Pertamina.
Cara itu merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan karena ia masih merupakan pengusaha "bayi". Beruntung, Pak Piet Haryono dan Pak Wiharso memberikan rekomendasi, Medco patut dibantu. Dana pun cair di ambang batas perjanjian. Proyek pun bisa berjalan sesuai waktu yang ditentukan pemerintah.
Terhadap bantuan yang diberikan pemerintah itu, Arifin menilai sangat positif agar pengusaha lokal mampu bersaing. Namun, tetap harus dilakukan secara betul karena kalau tidak bisa, jadi salah arah. Di sinilah sulitnya, kadang proteksi itu memberikan hasil yang sebaliknya. Mumpung dikasih proteksi, pengusaha malah menjadi manja.
Setelah merintis usaha tahun 80-an, Medco memulai kejayaannya pada tahun 1990. Sebelum tahun 1990 Medco selalu bekerja sama dengan pihak ketiga dan untuk masuk ke sana bukan hanya masalah konsistensi ketekunan dan normatif, tetapi juga urusan garis tangan sebagai penentu. Sebab, untuk memburu satu sumur minyak bukan urusan ribuan dollar AS, tetapi jutaan dollar AS dan itu pun belum tentu ketemu minyaknya.
Namun, keinginan untuk bisa mandiri tetap ada, maka tahun 1990 untuk pertama kali Arifin membeli sumur minyak di Tarakan, Kalimantan Timur, seharga 13 juta dollar AS. Ladang itu mampu berproduksi 4.000 barrel per hari (bph). Tahun 1995, beli lagi sumur minyak tertua PT Stanvac Indonesia milik ExxonMobil, yang sampai saat ini total produksi yang dimiliki Medco mencapai 80.000 bph.
Barangkali inilah prestasi paling gemilang dari Arifin dan perusahaannya, Meta Epsi Drilling Company (Medco). Pembelian Stanvac dimenangkan melalui tender yang kemudian namanya diubah menjadi Expan. Dengan pembelian itu, PT Stanvac tidak lagi dikuasai orang asing sebab perusahaan minyak tertua di Indonesia itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh Medco.
Keberhasilan itu konon karena ada unsur tekanan dari pemerintah. Atas isu tersebut, Arifin membeberkan bahwa ia membeli perusahaan minyak itu melalui tender intemasional. Untuk bertemu langsung dengan orangnya saja tidak bisa. Baru setelah selesai pembelian, mereka bisa benar-benar bertemu. Ia membelinya secara langsung. Waktu itu cadangannya cuma 20 juta. Kemudian tahun 1996 produksi digenjot. Hasilnya, satu lapangan saja bisa mendapatkan 320 juta barel minyak.
Sukses di bidang perminyakan ternyata membuat Arifin berpikir lain masih dalam sektor tambang. Kenapa orang lokal tidak bisa berjaya di gas, seperti halnya di minyak. Padahal Indonesia kan salah satu produsen gas terbesar di dunia dan banyak industri yang berteriak kekurangan gas? Pernyataan inilah yang kerap membuatnya gundah. Jika kita lihat pada satu sisi, Indonesia menempati posisi nomor satu di dunia dalam ekspor LNG karena cadangan gas jauh lebih banyak dari minyak. Kini, cadangan sudah mencapai 170 triliun kaki kubik (TCF). Jika cadangan itu diproduksi, sampai 50 tahun pun tidak akan habis.
Gas itu ada di luar Pulau Jawa, tetapi tetap harus harus dibawa ke Pulau Jawa karena berapa pun harganya tetap menarik. Misalnya PLN, jika membeli gas harganya hanya 3 dollar per million metric british thermal unit (MMBTU) sudah sangat mewah. Namun, kalau disetarakan dengan BBM sama dengan 18 dollar AS per barrel. Harga itu sangat murah dibandingkan harga BBM yang harus dibayar PLN sebesar 30 dollar AS per barrel.
Namun, kembali lagi, kenapa gas tidak ada di Pulau Jawa, ini masalah kebijakan pemerintah. Jadi, mestinya Bappenas atau Menteri bidang Ekuin sama memikirkan, apakah terus bergantung minyak yang harganya 30 dollar AS per barrel. Medco menjual ke Pusri 1,8 dollar AS ditambah ongkos pipa 0,5 sen dollar, sudah bisa untung.
Inilah yang ia anggap kebijakan itu keliru. Demikian juga proyek yang dibangun oleh PT Perusahaan Gas Negara, yang berhasil menyambung pipa gas ke Singapura, setelah itu membangun pipa ke Pulau Jawa adalah kebijakan yang salah. Gas di Sumsel sebenarnya tak banyak lagi, jadi seharusnya dibawa ke Jawa saja. Tetapi, barangkali pemerintah memiliki pertimbangan harga di Singapura yang barangkali lebih baik.
Sukses di dunia bisnis membuatnya ikut berpetualang ke dunia politik. Awalnya ia melakukan pertemuan di Hotel Radisson Yogyakarta tahun 1997. Sebenarnya itu adalah pertemuan atau diskusi biasa. Namun, efeknya luar biasa, khususnya buat Arifin. Ia dituduh berupaya menggagalkan Sidang Umum MPR yang akan mengesahkan Soeharto menjadi Presiden ketujuh kalinya.
Ketika aksi mahasiswa semakin memanas, Arifin memberi bantuan konsumsi kepada para demonstran yang melakukan aksi di Gedung DPR. Ribuan kotak makanan dikirim. Tak heran jika kemudian muncul opini bahwa Arifin adalah tokoh di belakang aksi atau cukong para mahasiswa. Namun, Arifin tahu bahwa ia tidak sendiri. Gerakan reformasi merupakan suratan untuk memperbaiki keadaan.
Cobaan terhadap langkahnya di dunia politik masih berlanjut. Di era Presiden BJ Habibie, Arifin Panigoro kembali dijerat dengan tuduhan pidana korupsi penyalahgunaan commercial paper senilai lebih dari Rp 1,8 triliun. Pada waktu itu, sejumlah kalangan percaya dijeratnya Arifin karena kedekatannya dengan gerakan mahasiswa. Bahkan pada masa pemerintahan Megawati, Arifin kembali dicoba untuk dijerat lewat perkara di kejaksaan. Sejak awal, dirinya yakin hanya dikerjain karena masih banyak pihak yang tidak senang dengan aktivitas politik yang digeluti.
Pengalamannya sebagai pengusaha membuat dia tidak kaget dengan praktik politik karena di dalamnya ada aktivitas melobi atau menggarap, juga money politics. Baginya, hari-hari uang adalah urusannya. Dari permulaan bekerja sebagai pengusaha, ia tidak pernah buat kesepakatan dengan fasilitas yang diperolehnya.
Demikian juga dengan urusan politik yang juga bagian dari kompromi lintas fraksi, kesepakatan semua kekuatan. Hal-hal begitu tidak selalu pakai uang, cukup pengertian bahwa kita punya sesuatu yang lebih besar, mari kita jalani sama-sama. Namun, perjalanan tidak selalu mulus, godaan banyak. Apalagi kekuatan politik sekarang sesudah zaman Soeharto, relatif pemainnya baru semua.
Meskipun terbiasa bermain dengan uang, namun Arifin mengaku memiliki batasan dalam memainkan uangnya. Sayangnya, proses politik atau proses pengambilan keputusan politik, ternyata uang yang berbicara. Padahal, meskipun ia seorang pebisnis, tetapi ia mau bisnis tanpa uang. Meskipun ia mengaku, cara bisnisnya memang tidak sebersih di AS. Di negara itu, mentraktir makan di atas 100 dollar AS sudah termasuk kategori sogokan. Ia tidak begitu amat, tetapi mendambakan good government and corporate governance, supaya bisa membuat bangsa ini ke depan lebih baik.
Ia berhitung, hari ini, uang dihabiskan untuk apa saja. Ia mau menghitung berapa total uang yang dikeluarkan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia, yang akan membebani APBD setiap daerah. Jangan lupa, itu uang rakyat dari pajak. Kalau pemimpinnya main, tentu menggelembungkan dana proyek, tentu bawahan juga ikut ambil bagian. Dengan demikian korupsi akibat kedudukan bisa menimbulkan efek berantai, jika dana diselewengkan Rp 1 triliun, uang rakyat yang bakal hilang sekitar Rp 10 triliun untuk pemilihan kepala daerah.
Perkenalannya lebih mendalam dengan dunia politik adalah ketika partai-partai baru bermunculan tahun 1998-1999 setelah lengsernya Soeharto dari kursi presiden. Pada awalnya, Arifin menjalin hubungan dengan berbagai tokoh politik, baik tokoh masyarakat yang sudah lama dikenal maupun tokoh yang baru muncul. Saat deklarasi partai baru dilangsungkan, Arifin kerap menghadirinya. Namun, akhirnya pilihannya jatuh ke PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Bersama PDIP, Arifin pun melenggang menuju Senayan sebagai anggota DPR/MPR.
Untuk kategori pemain baru di dunia politik, sebenarnya karir politik Arifin terbilang bagus. Ia bisa duduk di jajaran DPP partai peraih suara terbanyak dalam pemilu. Ia pernah memimpin lintas fraksi, juga menjadi Ketua Fraksi PDIP MPR. Namun, dunia politik memang seperti cuaca yang cepat berubah. Arifin yang kerap dikenal sebagai anak “indekos” di partai berlambang banteng merah gemuk itu dianggap sudah kurang loyal kepada partainya dan mulai memihak lawan partai politiknya bernaung.
Arifin Panigoro yang dulu dianggap sebagai inspirator pembangunan jalan mulus Presiden Megawati menuju kursi kepresidenan, kini dianggap sebagai anak yang nakal. Isu pun merebak bahwa Arifin bakal dipecat. Namun, hingga saat ini, isu tersebut tidak berbuah menjadi kenyataan.
Terhadap isu tersebut, ia berpendapat kalau dirinya dikeluarkan, sepertinya ia harus membuat acara perpisahan dengan teman-teman. Tetapi, sebetulnya ia sudah memikirkan untuk keluar. Menurutnya, kalau dikeluarkan dirinya akan lebih senang. Seperti orang kerja, kalau berhenti tidak dapat pesangon, kalau diberhentikan malah dapat pesangon.
Meskipun siap untuk keluar, namun mengenai masa depan politiknya masih belum jelas, dan ia sendiri masih belum bisa mengira-ngira ke mana akan berlabuh. Hal itu terjadi karena dari tahun 1998 ia termasuk non-partisan, meskipun belakangan bergabung ke partai. Awalnya, ia datang pada setiap acara peresmian partai baru, sampai akhirnya bergabung dengan PDIP.
Arifin menganggap dirinya sebagai seorang oportunis yang iseng-iseng. Atau ia hanya ingin ada lima tahun periode yang lain, tidak hanya menjadi seorang pengusaha.Tetapi yang pasti, hematnya, konyol jika berhenti lalu serta-merta melawan PDIP, apalagi mau menggulingkan Megawati.
Jika benar-benar mundur dari dunia politik, kemungkinan ia akan relaksasi dan bermain golf di Paris atau mencari sekolah khusus untuk mereka yang sudah berumur di kota yang mempunyai makanan yang enak-enak. Mungkin enam bulan istirahat dulu.
Ia juga termasuk orang yang respek terhadap cendekiawan muslim Noercholish Madjid (Cak Nur). Menurutnya, Cak Nur itu bukan politikus, tetapi berminat jadi presiden. Ketika pertama kali mengemukakan minatnya jadi presiden Arifin termasuk orang yang awal-awal mendatangi dan bertanya, ternyata jawabannya memang mau. Pikirnya, siapa pun ini, dia dari unsur yang berbeda dibandingkan politikus yang lain. Dengan demikian bisa menjadi ukuran moral, sebab moral juga harus terukur. Paling tidak, politikus ada malu-malu sedikit. Jadi, pencalonan Cak Nur, sebenarnya dapat meningkatkan kualitas pertandingan.
Mengenai kehidupan keluarganya, suami dari Raisis A Panigoro cukup bahagia. Anak-anaknya sudah besar, bahkan yang tertua Maera Hanafiah sudah menikah dan sebentar lagi dikarunia anak kedua. Adapun yang bungsu Yaser Mairi sedang menambah pendidikan di Singapura pada bidang IT. Sekarang, meskipun agak telat, ia sadar, kalau dirinya kurang memberikan perhatian kepada anak-anak, karena jam kerja yang ngawur. Sekarang, sejak sekolah di luar negeri, anak-anaknya seakan-akan lupa dengan orang tua.
Meskipun anak-anak itu bersekolah di luar negeri, namun tidak ada yang secara khusus disiapkan menggantikannya. Anak pertamanya seorang ibu rumah tangga, anak kedua tidak dipersiapkan untuk itu. Prinsipnya, Medco bukan perusahaan keluarga, jadi sebaiknya dijalankan oleh profesional. Kebetulan, adiknya orang minyak. Jadi, Hilmi Panigoro duduk Medco.
Ia juga tidak akan memaksakan anak-anak untuk meneruskan usaha orang tuanya. Jika kapasitasnya sudah dipenuhi, silakan saja kalau mau meneruskan. Ia mengaku tidak takut jika perusahaannya dipegang oleh orang lain, toh semua aset, cadangan tidak ke mana-mana.
Meskipun kini sudah menjadi "raja minyak", suami dari Raisis A Panigoro ini mengaku, kaya itu relatif. Dia mengaku tak pernah menghitung, apakah dirinya kaya atau tidak, sebab semua hidup yang dijalani terus menggelinding. Baginya, disebut kaya itu relatif, kalau di Indonesia, seperti dirinya memang sudah menonjol. Sebagai orang yang beberapa kali dicekal untuk bepergian ke luar negeri, ia pun bertanya untuk apa kekayaan itu.
Sebagai orang yang romantis, ia mengaku merasa benar-benar kaya, kalau berada dalam satu konser musik yang benar-benar disukai. Seperti saat ini, setelah bisa menikmati alunan gamelan Jawa, maka setiap mendengar musik Jawa itu sebelum tidur, dia merasa kaya. Jadi, baginya kaya cukup sederhana, bukan harta melimpah atau kekuasaan.
Arifin juga sadar, suatu saat akan pensiun sebagai orang perminyakan. Namun, tidak berarti ia akan berdiam diri. Ia merencanakan untuk memfokuskan ke Medco yang lain yaitu di bidang agrobisnis. Sekarang ini orang sedang banyak bicara tentang pertanian. Masalah minyak goreng yang masih kurang kelapa sawitnya. Mungkin itu adalah salah satu pelabuhan yang akan ditujunya kemudian.


Dari berbagai Sumber

Sabtu, 15 Januari 2011

Saya pasti golput pemilu selanjutnya.



Apabila akan dilaksanakan PEMILU saat ini, saya pastikan tingkat “GOLPUT” masyarakat akan meningkat secara drastis. Bukti tersebut dapat dilihat dari tingkat kekecewaan masyarakat yang telah sampai pada puncaknya. Wakil rakyat tidak bertelinga, pemerintah belum bisa mewujudkan harapan dan hanya memberikan mimpi indah yang sangat jauh dari rill kehidupan. Bila selalu seperti ini, saya pasti golput di pemilu selanjutnya.
Informasi dari media masa yang dapat dipertanggungjawabkan, wakil rakyat hanya memilih memprioritaskan kepentingan pribadinya dibandingkan masyarakat. Mereka lebih ribut mempermasalahkan bahwa pembangunan gedung baru tidak bisa dibatalkan karena telah masuk APBN perubahan 2010 (kompas, 15/01), dibandingkan dengan menyuarakan kepentingan rakyat. Mereka lupa bahwa masih ada 100 juta masyarakat Indonesia dengan pendapatan dibawah 2 dolar per hari (ukuran batas kemiskinan). Ketika inflasi pangan telah mencapai 15 persen pada awal tahun 2011,ketua DPR lebih tertarik membicarakan gedung dengan 23 lantai beserta fasilitas kolam renangnya.
Pemerintah sudah saatnya melakukan hal yang rill didalam menghadapi masalah nasional Indonesia. Presiden selama ini menerima hasil Kuantitatif yang secara singkat menunjukan perbaikan didalam kehidupan bangsa. Akan tetapi sesuatu yang kuantitatif tersebut tidak seiring dengan kenyataan kualitatif sehingga masyarakat banyak mengira bahwa penyampaian pemerintah hanya sebuah kebohongan belaka. Hal tersebut dibuktikan pernyataan dari tokoh lintas agama yang jauh dari kepentingan politik bahwa pemerintah yang digawangi presiden dan para mentri menyampaiakan setidaknya 18 belas kebohongan. Tentu saja pemerintah harus menindaklanjuti masukan yang akan bermanfaat bagi kemajuan bangsa tersebut.
Pemerintah sebenarnya tidak 100 persen melakukan kebohongan tersebut. Sebagai contoh, data ekonomi secara kuantitatif dan agregat menunjukan kemajuan yang menggembirakan. PDB Indonesia telah mencapai Rp 6.900 Triliun dan masuk kedalam 20 negara dengan PDB terbesar di dunia. Inflasi hanya berkisar pada 5-6 persen. Pendapatan per kapita masyarakat telah mencapai $ 3000 dolar dan dapat dianggap sebagai negara yang memiliki kesejahteraan. Data tersebut dilaporkan oleh mentri kepada presidennya. Tentu Presiden akan bangga terhadap kemajuan ekonomi yang sangat signifikan tersebut.
Data tersebut membuktikan bahwa pemerintah telah berhasil, apabila kita buta dan tuli tidak melihat kualitatif kehidupan bangsa Indonesia. Hal pertama adalah apakah benar pendapatan masyarakat Indonesia telah $ 3000 dolar perkapita atau Rp 27 juta per tahun, sedangkan informasi rill secara statistik menunjukan bahwa ada 100 juta masyarakat dengan pendapatan dibawah $ 2 per hari (andi Suruji,2011). Di negeri ini banyak orang yang sangat kaya, tapi sangat banyak masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan dan segala problema hidupnya. Kedua adalah bahwa secara agregat inflasi Indonesia hanya berkisar pada 6,5 persen. Secara angka, infasi yang ada merupakan angka yang baik di masa beberapa negara lain mengalami resesi. Akan tetapi dengan sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih bergulat dalam pemenuhan kebutuhan pokok, inflasi yang terjadi telah membuat masyarakat berpikir untuk mengakhiri hidupnya denga bunuh diri. Inflasi pada pangan terlalu tinggi untuk disepelekan. Harga pangan secara keseluruhan telah mencapai inflasi 15,6 persen. Per komoditi, beras kualitas rendah telah naik sebesar 30,1 persen, gula mencapai 9,3 persen, minyak goring curah mencapai 28,6 persen, bawang merah 63,9 persen, dan paling spektakuler adalah cabai rawit 140,1 persen (kompas 15/01). Fakta ketiga yang paling menarik adalah pernyataan bahwa hutang Indonesia telah mengalami penurunan secara signifikan. Benar bahwa persentase hutang Indonesia telah turun signifikan dari 57 persen terhadap PDB pada tahun 2004, menjadi 27 persen pada 2010. Akan tetapi, secara nominal hutang Indonesia pada 2004 sebesar Rp 1.200 triliun meningkat menjadi Rp 1.500 triliun pada 2010. Jadi tetap bahwa hutang Indonesia meningkat, dan penurunan presentase disebabkan oleh peningkatan PDB yang dominan dikarenakan peningkatan konsumsi yang dibiayai oleh kredit.
Masyarakat pada masa ini telah cerdas dan mengetahui yang benar dan salah. Masalah sosial, ekonomi dan hukum terlunta-lunta dan hanya menjadi permainan politik di negara ini. Kasus tingginya bunuh diri, kerawanan dan kelangkaan pangan, kemiskinan, dan kasus mafia hukum “Gayus” telah membuat masyarakat jenuh dan membutuhkan perubahan. Dan jawabannya adalah kita, mahasiswa sebagai harapan perubahan tersebut.
Dengan fakta yang ada, tanpa perubahan yang berarti. Saya akan tetap golput pada pemilu berikutnya.

Rendi Seftian
Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis