Jumat, 28 Januari 2011

Pangan, oh pangan


Laporan keadaan pangan dunia yang disampaikan Lestern R Brown yang merupakan presiden dari Earth Policy Institute, sungguh mencengangkan dan cukup menjelaskan bahwa dunia sedang dihadapkan masalah yang sangat serius. Berdasarkan Artikelnya yang berjudul The Great Food Crisis Of 2011 Yang dipublikasikan oleh Foreign Policy, ketahanan pangan dunia merupakan masalah yang ada didepan mata dan sulit dihindari. Hal ini ditandai tingginya harga pangan dunia terutama gandum. India digoncang inflasi pangan hingga 18 persen dan mendapat protes keras dari masyarakatnya. Kerusuhan terjadi di Algeria. Hingga Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa indeks harga pangan yang tinggi pada Desember 2010 akan berdampak panjang selama tahun 2011. Laporan tersebut menyampaikan pula bahwa penyebab dari meledaknya kebutuhan pangan tidak hanya mempermasalahkan iklim yang tidak stabil, melainkan peningkatan jumlah penduduk yang signifikan, kesejahteraan masyarakat dunia yang meningkat, hingga penggunaan pangan sebagai bahan bakar terbarukan. Disebutkan pula dampak signifikan akan sangat dirasakan oleh negara-negara yang berpenduduk sangat besar terutama India, Indonesia ,dan China.
Untuk Indonesia sendiri, Prof.Dr.Ir.Bungaran Saragih, M.Ec (Guru besar Emeritus Departemen Agribisnis FEM IPB) memproyeksikan bila program keluarga berencana berhasil dijalankan, maka pada 2035 penduduk Indonesia akan mencapa 350 juta jiwa. Dengan keadaan saat ini, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia akan beras telah mencapai 139 kg per kapita, sehingga dibutuhkan sekitar 50 juta ton beras dengan membutuhkan 11 juta ha dengan produktivitas rata-rata 5 ton GKG per hektar. Sungguh data yang menunjukan ketergantungan kita pada salah satu komoditas beserta tantangannya di masa depan.
Bahkan pada awal tahun 2011, Indonesia di kagetkan oleh harga pangan yang melonjak naik dengan ditandai oleh inflasi keseluruhan pangan sebesar 15,6 persen yang ditandai inflasi beras yang mencapai 30,1 persen bahkan cabai yang mencapai 140,1 persen. Pemerintah menyadari bahwa bahaya kerawanan pangan mengancam dan menyadari langkah kongkrit dibutuhkan. Oleh karena itu, pada 7 Januari 2011 pemerintah yang diwakilkan Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan didampingi Mentri Pertanian Suswono menyampaikan bahwa Bea masuk (BM) dibebaskan untuk pangan yaitu beras, gandum, kedelai dan pangan ternak . Terbukti, Badan Pusat Statistik pada 22 Januari 2011 menyampaikan bahwa kebijakan tersebut efektif menahan laju Inflasi.
Kebijakan pangan pemerintah tersebut sesungguhnya merupakan kebijakan yang berdampak positif dalam jangka waktu yang singkat. Akan tetapi dalam jangka waktu tertentu akan menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia. Kebijakan tersebut berpihak kepada masyarakat non usahatani, akan tetapi menenggelamkan kesempatan petani Indonesia didalam memperoleh kesejahteraan dari menguatnya harga pangan.
Dibutuhkan kebijakan jangka panjang yang mampu memberikan alternatif nyata bagi penguatan ketahanan pangan nasional. Solusi jangka pendek tersebut sulit menjawab tantangan yang akan terjadi, terutama menghadapi membengkaknya penduduk Indonesia dan ketergantungan akan beras sebagai pangan utama. Pemerintah seharusnya memberikan sedikit kesempatan petani dalam menikmati kesejahteraan. Solusi jangka panjang seharusnya sudah mulai digiatkan.
Solusi yang bisa ditawarkan adalah kembali menghidupkan kearifan lokal setiap daerah didalam memenuhi kebutuhan pangannya. Sudah menjadi rahasia bahwa telah terjadi kesalahan kebijakan pangan pada orde yang lalu selama 32 tahun didalam menyeragamkan pangan diseluruh Indonesia. Nasi merupakan pangan utama sebagian besar masyarakat Indonesia. Ketergantungan akut nyata dirasakan masyarakat Indonesia. Sedikit pergeseran selera konsumen memang terjadi, akan tetapi sayang bergeser ke tepung terigu yang jelas negara kita tergantung 100 persen terhadap impor.
Peluang kembali mengaktifkan pangan lokal merupakan harapan baru didalam menghidupi bangsa ini. Mungkin menjadi wacana yang panjang didalam merubah mindset masyarakat didalam merubah pola konsumsi akan tetapi wajib dilakukan sebelum semuanya terlambat. Ubi jalar, singkong, sagu, sorgum, talas, jagung dan sumber pangan lainya yang dianggap marjinal berpotensi besar didalam memberikan solusi pemenuhan pangan nasional. Kunci utama yang harus dilakukan pemerintah cukup memberikan support pada penelitian diversifikasi pangan, memperkenalkan kembali kepada masyarakat dan menjaga mudahnya akses bagi masyarakat terhadap pangan alternatif tersebut.
Apabila bisa digiatkan kembali kearifan lokal, negara ini jangan pernah takut kekurangan pangan karena kita sangat kaya. Sangat kaya, walaupun kita tidak menyadarinya.

Rendi Seftian
One Day No rice Campaign
Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar