Rabu, 29 Desember 2010

Membangun Bangsa 2011 : belajar dari Sepak Bola dan piala AFF 2010


Kekalahan Indonesia pada leg pertama (26 Desember 2010) dengan skor mencolok 0-3 dari Malaysia di Bukit Jalil maupun kemenangan leg kedua 2-1 di GBK, belum mampu mengantarkan Indonesia menjuarai piala AFF 2011. Akan tetapi telah memberikan pelajaran berharga tidak hanya bagi pemain, melainkan secara keseluruhan bagi bangsa Indonesia. Kekalahan ini tentu saja melukai semangat Indonesia yang sedang meletup mencapai puncaknya. Semangat yang membara dari seluruh elemen masyarakat Indonesia, seakan tersiram oleh air es yang ditumpahkan oleh 11 orang Malaysia yang menggiring bola ke gawang Markus Haris Maulana. Tentu selalu ada hikmah dari segala musibah dan selalu ada pelajaran dari segala jalan.
Pelajaran pertama adalah apakah bangsa Indonesia sudah siap menjadi juara dengan segala realita yang ada?. Saya merasa senang dan bangga apabila Indonesia mampu menjadi juara AFF 2010, namun sekaligus khawatir. Bangga karena pada akhirnya Indonesia bisa juara setelah hanya menjadi finalis secara beruntun pada 2000,2002, dan 2004. Khawatir karena sepertinya Indonesia belum mampu menjadi seorang juara. Indonesia kembali tidak menjuarai piala AFF, saya mengambil kesimpulan bahwa Tuhan telah ikut andil didalam menentukan siapa juaranya. Karena Tuhan mengetahui apa yang terbaik bagi Bangsa Indonesia
Hal pertama yang saya khawatirkan adalah sikap masyarakat Indonesia yang terlalu berlebihan didalam menyikapi partai Final AFF 2010.Hal ini bahkan ditunjukan media yang berlebihan, yang tentunya mengganggu pemain. Akibat dari sikap berlebihan, menunjukan sebagian masyarakat Indonesia belum mampu bersikap dewasa. Hal ini dibuktikan dengan kericuhan didalam pendistribusian tiket yang disebabkan panitia lokal AFF dan PSSI yang tidak bersikap professional. Niat baik yang berlebihan tersebut mengakibatkan kerusakan yang terjadi di Glora Bung Karno (GBK) yang merupakan salah satu Heritage yang dimiliki oleh Indonesia.
Kekhawatiran kedua adalah semakin terbiasanya masyarakat Indonesia untuk memproleh segala sesuatu dengan cara yang instan tanpa harus bekerja lebih keras. Hal ini ditunjukan dengan rencana penambahan naturalisasi pemain sebanyak lima orang oleh PSSI. Diakui memang, dengan penambahan Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim memberikan warna tersendiri dengan meningkatnya grafik permainan dan semangat secara signifikan. Akan tetapi, layaknya kurva produksi klasik pada ilmu ekonomi, bahwa dengan penambahan akan meningkatkan produksi dan akan menurun apabila telah menempuh titik produksi maksimum. Hal tersebut dibuktikan dengan prestasi Singapura yang mengandalkan pemain naturalisasi mendapatkan prestasi yang sangat jeblok di AFF 2010 dibandingkan pada turnamen sebelumnya. Seharusnya PSSI lebih DEWASA dengan menekankan pembinaan pemain muda, apalagi setelah mendapatkan SOGOKAN politik dari salah satu ketua partai politik seluas 25 hektar untuk camp pembinaan. Mungkin wajar singapura melakukan naturalisasi mengingat hanya berpenduduk lima juta orang, tapi apakah hal yang sangat sulit mencari 11 orang yang akan dididik menggiring si kulit bundar dari 220 juta penduduk?.

Kekhawatiran ketiga adalah semakin besar kepalanya seorang ketua PSSI (saya tidak akan menyebut nama, nanti dianggap sebagai pencemaran nama yang sudah tercemar) dan tidak mau turun dari jabatannya. Saya katakan demikian karena siapa penggemar sepak bola yang tidak menginginkan penggantian ketua PSSI, setelah sepak terjangnya yang sangat jauh tidak professional. Sikap besar kepalanya adalah membohongi FIFA pada 2007 mengenai MUNASLUB dengan agenda pemilihan ketua PSSI dengan hasil tetap kokohnya dia di singgasana ketua PSSI. Sikap besar kepala lainya ditunjukan dengan manuver politik yang sebenarnya tidak perlu setelah kemenangan atas Filipina yang tentunya secara langsung aspek non teknis tersebut mempengaruhi tim garuda. Sikap besar kepalanya teruji pula ketika terbukti sebagai tersangka korupsi dan mencetak sejarah sebagai satu-satunya ketua PSSI dan ketua federasi sepak bola di dunia yang tetap memimpin dibelakang jeruji besi. Bila kita pikir lebih jauh, apa jadinya apabila Indonesia menang di piala AFF 2010?. Mau dibawa kemana PSSI kita?
Pelajaran apa yang bisa diambil untuk membangun bangsa?
Piala AFF tentunya memberikan pelajaran besar, terutama didalam kita sebagai generasi muda membangun bangsa. Pelajaran pertama yang bisa diambil adalah sikap yang professional bagi kita generasi muda didalam menjalani segala aktifitas hidup. Tidak berlebihan, karena segala yang berlebihan tentu tidak baik. Profesional dalam artian melakukan segala hal dengan orientiasi tujuan utama yang tentunya mulia. Bukan orientasi hanya mementingkan satu golongan bahkan partai politik, akan tetapi tetap mengutamakan kepentingan bangsa. Salah satu sikap tidak professional didalam sepak bola Indonesia yang jangan pernah dicontoh adalah politisasi yang terjadi. Hal ini ditunjukan dengan poster tidak penting politikus yang bahkan terpampang di Stadion Negara tetangga Bukit Jalil, Malaysia. Janganlah segala sesuatu itu di politisasi, karea politik itu kejam. Kita sama-sama tahu, bahwa didalam politik bahkan tidak ada sahabat abadi dan yang ada hanya kepentingan abadi.
Pelajaran kedua adalah bagaimana di masa depan kita tidak pernah memberikan sedikit celah pun terhadap korupsi di negeri ini. Tidak ada lagi mafia yang dengan mudahnya mempermainkan segala elemen bangsa. Ini perlu suatu keseriusan, tidak hanya dari masyarakat terutama mahasiswa yang selalu berteriak dijalan, melainkan pemerintah dengan segala kemampuannya. Sayang pemerintah sepertinya tidak serius untuk melakukannya. Presiden SBY hanya berdiam diri, ketika suporter Indonesia meminta Ketua PSSI menjabat untuk mundur dari PSSI pada saat pertandingan Indonesia vs Uruguay beberapa waktu lalu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ketua PSSI yang sedang menjabat adalah mafia pelaku jual beli trofi liga Indonesia dengan tujuan memenangi pilkada.
Pelajaran ketiga tentunya bagaimana kita menyikapi suatu prestasi dan makna keberhasilan sebagai suatu proses yang panjang dan merupakan hasil kerja keras. Indonesia akan menjadi Negara adidaya, apabila menjalani proses yang tepat walaupun memerlukan waktu yang panjang. Kita mungkin mengakui bahwa Amerika Serikat merupakan negara adidaya dan itu diperoleh tidak dengan waktu yang singkat bahkan pernah mengalami perang saudara sebelum dapat menjadi seperti sekarang. Penambahan pemain naturalisasi memberikan efek positif, akan tetapi hanya berdampak sementara. Saya memberikan apresiasi yang besar kepada Malaysia dengan “100 persen Malaysia”-nya seperti yang ditampilkan spanduk di Bukit Jalil. Mereka memilih membina generasi muda yang lebih Intensif guna meningkatkan prestasinya. Sesungguhnya mereka mengilhami arti bekerja keras, yang tentunya mendidik masyarakatnya untuk siap berusaha didalam membangun bangsanya.
Dari sepak bola, banyak kita bisa belajar terutama didalam menyikapi hidup. Seperti papatah bijaksana mengatakan bahwa bola itu bundar, segala sesuatu itu bisa terjadi. Maka jangan pernah kita pesimis didalam menjalani kehidupan, karena dengan usaha dan kerja keras tidak ada satu pun yang tidak mungkin. Dari sepak bola kita pula belajar, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik tentunya. Tentunya segala sesuatu memerlukan proses didalam mencapai segala sesuatu. Kesimpulan yang saya bisa ambil adalah pemain TIMNAS layak untuk juara, akan tetapi Bangsa Indonesia, terutama pemerintah dan PSSI belum siap untuk juara.

Rendi Seftian
Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis

Kamis, 14 Oktober 2010

Pembangunan Desa, Ketahanan Pangan, dan FTA



“Ketahanan pangan adalah ketersediaan dan konsumsi pangan yang bertumbuh secara berkelanjutan dan terjangkau harganya oleh masyarakat. Ketahanan pangan itu bisa pada level nasional, regional, lokal, dan keluarga. Hanya dengan ketahanan pangan yang bertumbuh secara berkelanjutan dan keadilan yanb dapat memberikan kesejahteraan kepada petani dan penduduk Indonesia” (Bungaran Saragih, 2007).
Pengertian diatas merupakan pernyataan yang disampaikan Prof.DR.Bungaran Saragih, M.Ec pada saat memberikan penjelasan mengenai ketahanan pangan. Beliau berpendapat bahwa ketahanan pangan dapat dilakukan pada berbagai aspek skala yang pada dasarnya memenuhi kebutuhan dasar manusia secara adil. Pembangunan ketahanan akan pangan dapat terlaksana, bila seluruh pihak bersinergis dalam mensejahterakan petani sebagai tombak utama menjaga ketahanan pangan bangsa.
Adanya cerita kelaparan di Yahukimo (Papua) dan ratusan balita gizi buruk diberbagai daerah bahkan disekitar pusat pemerintahan Indonesia, merupakan sebuah kontradiktif dengan harapan pemerintah dalam melakukan ekspor beras pada 2010 dan pernyataan pemerintah bahwa Indonesia dalam keadaan swasembada beras. Hal tersebut menunjukan bahwa ketersediaan pangan kadang tidak berkorelasi secara langsung dengan ketahanan pangan ditingkat masyarakat. Inti utama dari penguatan ketahanan pangan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat disegala aspek kehidupan sehingga adanya kemampuan dalam mengakses pangan.
FTA dan kenyataan pangan Indonesia
            Upaya peningkatan pertanian guna menghadapi persaingan pasar luar negeri adalah dengan menerapkan kebijakan proteksi dan promosi. Proteksi adalah menjaga pasar pertanian lokal dengan kebijakan tarif maupun kuota oleh pemerintah dan promosi adalah memperkenalan dan menanamkan kebanggaan pada masyarakat dalam mengkonsumsi produk pertanian dalam negeri. Akan tetapi, dengan diberlakukannya ACFTA pada 2010 dan FTA yang akan diberlakukan oleh WTO akan menghapuskan kebijakan proteksi pada titik nadirnya, sedangkan saat ini promosi belum mampu memaksimalkan fungsinya seperti seharusnya. Keunggulan komparatif dan kompetitif suatu Negara akan menjadi penentu penguasaan akan dunia baru yang dikenal dengan perdagangan bebas.
            Pada dasarnya, WTO dengan free trade area-ya merupakan suatu keadilan bagi Negara bagi Negara maju akan tetapi sebuah perjalanan kebangkrutan dan ketergantungan bagi Negara berkembang seperti Indonesia. Pada umumnya, dinegara berkembang sektor pertanian tidak mendapat intensif ekonomi yang memadai. Input produksi yang mahal karena impor dari negara maju, pasar yang terfragmentasi, dan harga rendah yang tidak merangsang produksi mengakibatkan pertanian merupakan kegiatan ekonomi dengan biaya tinggi. Sedangkn pada Negara maju, pertanian diperhatikan dengan subsidi yang tinggi dan mengakibatkan harga yang kompetitif di pasar dunia.
            Merupakan sebuah realita yang ada bahwa sebelum dibukanya keran pasar bebas, bangsa Indonesia telah memiliki ketergantungan terhadap sumber pangan luar negeri. Beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia, telah dioptimalkan dalam pembudidayaan akan tetapi tidak jarang kita masih melakukan impor. Swasembada beras yang kita capai, memiliki sisi lain bahwa Negara kita masih terancam pada kerawanan pangan. Selain itu, sumber utama pangan lainnya masih sangat tergantung pada impor. Diperkirakan, 4,5-5 juta ton biji gandum dan 100 persen diantaranya merupakan impor dari Negara lain. Bahkan, Presiden beserta para mentri melakukan rapat terbatas dengan sangat mendadak hanya karena tempe dan tahu. Mengingat tempe dan tahu menggantungkan sumber input dari kedelai impor. Sebuah keironisan dalam menjaga ketahanan pangan bangsa ini.
            Keunggulan komparatif yang dimiliki oleh Indonesia dalam waktu dekat akan tereliminasi oleh keunggulan kompetitif negara maju dalam pasar pangan lokal maupun internasional. Harga yang lebih rendah produk pertanian impor akan menggerus produksi pertanian lokal dan akan mengakibatkan Indonesia menjadi negara pengimpor pangan terbesar dunia. Dengan jumlah penduduk yang diperkirakan akan tumbuh hingga lebih dari 350 juta jiwa (bila program KB sukses) pada 2035, sedangkan pertanian Indonesia semakin memprihatinkan dengan luas lahan maupun teknologi yang sangat terbatas hanya akan menjadi santapan empuk dari perdagangan bebas dunia.
Pembangunan desa dan ketahanan pangan
            Tombak utama dari ketahanan pangan adalah kesejahteran petani yang sebagian besar hidup di pedesaan. Angkatan kerja terserap 41 persen dan sebagian besar ( 16-17 persen dari penduduk Indonesia) bertempat tinggal dipedesaan dalam kondisi sangat memprihatinkan dengan mata pencarian dibidang pertanian. Pembangunan desa dan kesejahteraan petani merupakan harga mati dalam mempertahankan ketahanan pangan lokal Indonesia. Intensif ekonomi yang akan membawa petani menuju kesejahteraan, merupakan intensif yang tepat dalam peningkatan produksi pangan dalam negeri.
            Sistem Agribisnis terpadu harus diterapkan dalam suatu kawasan di pedesaan, sehingga menciptakan kegiatan ekonomi biaya rendah dalam menghasilkan produk pertanian. Pembangunan input pertanian yang murah dan dekat dengan pedesaan, infrastruktur yang memadai, maupun agroindustri maupun pasar merupakan kebutuhan pokok yang dapat dipusatkan pada pedesaan. Hal tersebut selain akan memandirikan kita dalam ketahanan pangan, akan mensukseskan kegiatan otonomi daerah dan masalah sosial lainnya sepeti urbanisasi dan pembukaan lapangan kerja.
Keunggulan komparatif yang dimiliki oleh alam Indonesia sudah saatnya diarahkan kepada kombinasi terhadap keunggulan kompetitif. Sangat sulit bila harapan mampu unggul secara kompetitif bila kita masih tergantung kepada pihak luar. Sektor input memerlukan penguatan, sehingga input pada budidaya akan lebih efisien dan akan memberikan manfaat rendahnya biaya produksi oleh petani. Hal ini akan berefek pada harga kompetitif produk pertanian terutama pangan dipasar domestik maupun Internasional.
            Diversifikasi pangan kearifan pangan lokal menjadi kunci sukses lainnya dalam menciptakan ketahanan pangan. Pada dasarnya setiap daerah memiliki alternatif pangan yang sesuai dengan kebudayaan lokalnya, akan tetapi kesalahan kebijakan rejim yang  lalu telah mengarahkan pada standarisasi pangan yang sangat merugikan. Penelitian variasi produk pangan lokal dan sosialisasi pentingnya pangan lokal merupakan langkah awal yang harus dilakukan pemerintah dalam mencoba diversifikasi pangan.
            Inti dari upaya peningkatan ketahanan pangan adalah revitalisasi pertanian dalam bentuk keseluruhan. Keseluruhan dalam artian revitalisasi meliputi penguatan industri hulu yang mandiri, budidaya yang diubah dari subsisten menjadi bisnis, penguatan agroindustri, pemasaran yang ditunjang dengan infrastruktur yang baik, sistem penunjang yang memberikan kontribusi yang tepat, dan peningkatan tingkat pendidikan masyarakat desa sebagai aktor utama dalam pertanian primer. 

Rabu, 13 Oktober 2010

Kami adalah Indonesia


Kami hanya kaum yang disisihkan.
Cita-cita bagi kami, hanya sebagai dongeng menjelang tidur.
Berbaju rapih dan duduk dibelakang meja.
Hanya mimpi, hingga saat ini kami tak tahu makna rentetan huruf diatas toko.
Bagi kami, masihkah ada hari esok yang menanti ?

Kami hanya kaum yang dipinggirkan.
Dengan perut buncit dan mata yang cekung.
Sesuap nasi, adalah mewah bila tepat waktu.
Hanya angan, hingga saat ini hidup kami hanya penolakan.
Adakah harapan untuk sebuah kehidupan.

Kami adalah Indonesia.
Tidak merasakan merdeka, walau kata mereka merdeka.
Terpinggirkan dan tersisihkan.
Karena kami adalah Indonesia.