Kamis, 30 Juni 2011

Catatan Gladikarya (Serie 4)



GLADIKARYA
Hari ke Empat
Serie identifikasi Desa Kertawangi
IDENTIFIKASI KAMPUNG CIBOLANG


Kampung Cibolang yang terlatak dilembah di desa Kertawangi bisa dianggap sebagai kampung yang lebih terpencil dibandingkan yang lainnya di desa Kertawangi. Terletak di lereng gunung Burangrang dan diakses melewati jalan berliku dengan tebing yang tinggi di sekitarnya. Desa Cibolang memiliki suhu dengan rata-rata 20 derajat Celsius di siang hari dan lebih dari itu bila beranjak malam.

Kampung Cibolang dengan kesehajaannya menggantungkan diri pada kegiatan pertanian. Lereng gunung yang landai, gunung yang tegak, dan air yang melimpah menjadikan kampung Cibolang berpotensi untuk pengembangan pertanian terutama hortikultura dan sapi perah. Kampung ini memang bukan menjadi tujuan kami yang berorientasi pada usaha jamur, namun dengan potensi yang dimiliki kampung Cibolang menarik untuk kita pelajari.

Observasi yang saya lakukan mengidentifikasi bahwa usaha pertanian kampung cibolang terbagi atas pertanian holtikultura dan usaha ternak sapi perah. Usaha ternak sapi perah sebenarnya sangat berpotensi. Kondisi geografis yang mendukung, mengakibatkan suhu di kampung ini cocok untuk budidaya ternak perah. Lahan yang masih tersedia dan belum di manfaatkan dapat menjadi penghasil hijauan. Selain itu, air yang melimpah pun dapat dipenuhi dimana budidaya sapi perah membutuhkan air yang melimpah. Akan tetapi, sejauh observasi selama tiga hari ini belum menunjukan budidaya yang lebih terkonsentrasi oleh penduduk. Sejauh ini, sapi perah hanya menjadi usaha sampingan warga dengan jumlah sapi per rumah tangga hanya 1-3 sapi. Belum ditemukan usaha sapi yang melebihi dari 3 sapi. Bahkan pemilik sapi di desa ini pun tidak sampai lebih dari lima rumah tangga.

Komoditas holtikultura yang dibudidayakan terdiri dari bunga kol, kacang buncis, labu siam, brokoli, pisang, tomat dan bunga. Komoditas holtikultura sangat cocok dibudidayakan. Geografis, iklim, dan ketersediaan sumberdaya air sangat mendukung. Penduduk Cibolang sejauh ini memaksimalkan pertanian holtikultura sebagai mata pencarian. Hal ini diakui oleh sebagian warga yang menyampaikan bahwa setiap keluarga di Kampung Cibolang pasti memiliki sepetak lahan yang digunakan untuk holtikultura. Lahan tersebut bisa berupa lahan yang terletak jauh dirumah penduduk, ataupun lahan yang terletak di di halaman depan atau belakang rumah. Menjadi pemandangan yang biasa bila melihat ada beberapa petak tanaman sayur tepat didepan pintu rumah di Cibolang.

Pengusahaan holtikultura yang tidak terencana antar petani menyebabkan dari segi kuantitas tidak dapat dipastikan secara pasti dan hal tersebut pun terjadi pada varian kualitas. Para petani bila dilihat dari segi kuantitas hanya mampu menghasilkan tidak terlalu banyak. Hal tersebut tentu berbanding lurus dengan tingkat pendapatan para petani yang sangat minim. Setiap paginya, para petani yang telah memanen hasil pertaniaannya akan berbaris di sepanjang jalan kampung dengan rapi beserta hasil panennya. Mereka menunggu kendaraan para pengumpul/tengkulak yang akan membawa hasil panen mereka ke pasar tujuan.

Tengkulak dalam kasus ini mengumpulkan hasil panen dan mendistribusikannya. Pasar tujuan dari para pengumpul adalah Pasar Induk Cibitung, Kramat jati, Tanah Tinggi, ataupun pasar Bogor. Perjalanan yang ditempuh diperkirakan paling ideal selama lima jam. Hal tersebut guna menggurangi biaya pengiriman berupa kerusakan produk. Produk yang pertanian Kampung Cibolang dikirim menggunakan truck angkel dan ditumpuk dengan kurang baik. Perjalanan dimulai pukul 08.00 wib dan diharapkan sampai pada siang hari. Sore hari transaksi perdagangan akan dimulai hingga menjelang dini hari.

Tataniaga sayuran Kampung Cibolang secara keseluruhan tidak memiliki banyak alternatif. Alur tataniaga terdiri dari Petani – Tengkulak - Pengumpul besar – pedagang kecil-konsumen. Alternatif lainnya adalah Petani- Tengkulak –pedagang kecil – konsumen. Pada akhirnya aktivitas tataniaga tersebut menyebabkan meningkatkan margin tataniaga dari produk Holtikultura kampung Cibolang.

Petani akan menjual produknya kepada tengkulak yang ada dikampung Cibolang dengan informasi harga yang sangat terbatas. Para tengkulak tersebut akan mengumpulkan dan akan membawa produknya ke pasar tujuan. Di pasar tujuan terdapat dua alternatif yang selama ini dilakukan para tengkulak. Alternatif pertama adalah menjual kepada pedagang besar yang ada di pasar induk, alternatif lainnya adalah menjual kepada pedagang kecil yang menurut para petani sebagian merupakan pedagang yang berasal dari Kertawangi.

Didalam melihat jalur mana yang lebih efisien dan memiliki margin tataniaga dibutuhkan penelitian lebih lanjut sebelum memberikan rekomendasi. Pada dasarnya kehadiran jalur-jalur tersebut diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan para petani dan terjadinya perdagangan yang lebih adil. Mungkin ini sepenggal analisis dan observasi saya mengenai Kampung Cibolang Cisarua Bandung barat didalam waktu empat hari.

Rabu, 29 Juni 2011

Catatan Gladikarya (Serie 3)


GLADIKARYA
Hari ketiga
Hari ketiga bertepatan dengan hari besar keagamaan “isra miraj” yaitu tanggal 29 Juni 2011. Dengan berbagai tujuan yang telah tersusun, maka hari ini kami agendakan untuk mengunjungi Ketua Gapoktan Jamur Tiram Kertawangi yaitu Bapak Ajang Taryana. Beliau merupakan salah satu perintis usaha Jamur Tiram di Desa Kertawangi .

Kunjungan kami lakukan pada pukul 08.30 wib ke rumah beliau di kampung Cibadak Kertawangi. Bertemu beliau membutuhka sedikit kesabaran mengingat kesibukan beliau yang sedang mengelola tempat usahanya. Beliau dengan keramahan dan kesahajaannya menerima dengan baik. Pada hari ini, kunjungan hanya dilakukan saya dengan TB.

Pembicaraan dengan beliau sangat menarik. Beliau memberikan informasi yang sangat berguna yang berhubungan dengan kondisi petani jamur, Gapoktan, sejarah jamur tiram di kertawangi, hakikat hidup, budaya dan keagamaan yang ada di Desa Kertawangi. Beliau menjadi narasumber yang menarik dan mampu memberikan gambaran dengan maksimal dari keadaan desa kertawangi.

Poin dari pembicaraan dengan Pak Ajang mengenai Jamur Tiram adalah adanya Gapoktan Jamur Tiram Kertawangi. Beliau menguraikan secara transparan mengenai keadaan Gapoktan dan tentu saja memberikan informasi yang sangat penting. Gapoktan Jamur tiram usiannya sangat muda dibandingkan dengan usaha jarum tiram itu sendiri. Gapoktan baru berumur sekitar tiga bulan dan budidaya jamur tiram sudah dimulai dari tahun 1982. Sangat tidak adil apabila kita bandingkan secara langsung.

Gapoktan sejauh ini belum mampu memberikan pengaruh dan manfaat bagi anggotanya. Pak Ajang berpendapat bahwa pembentukan tersebut dikhawatirkan hanya sebagai alat guna mengalirkan bantuan pemerintah. Tujuan pembentukan Gapoktan hanya sebagai ajang menarik bantuan sangat bertentangan bagi pak Ajang. Keberatan berasal dari niat yang tidak baik, sehingga beliau sangat takut mempertanggung jawabkannya baik di dunia maupun di akhirat. Gapoktan yang terbentuk diharapkan berasal dari keinginan anggota. Akan tetapi, sejauh tingkat partisipasi anggota sangat rendah sehingga setelah tiga bulan berjalan belum menunjukan pergerakan sama sekali.

Informasi lainya yang cukup penting adalah tingkat persaingan dan over supply jamur di pasar mengakibatkan nilai yang rendah apabila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Tingkat persaingan dapat diartikan semakin terbukanya informasi mengakibatkan meningkatnya pelaku usaha jamur tiram. Usaha tersebut meliputi pengusahaan oleh rakyat maupun secara korporat. Selain itu, kendala yang dihadapi adalah semakin banyaknya pengusaha jamur tiram, mengakibatkan over supply. Tentu saja sesuai hukum ekonomi bahwa meningkatnya jumlah akan mengakibatkan turunnya harga. Pada harga tertentu akan ngakibatkan turunnya pendapatan anggota. Secara data, memang ditunjukan bahwa tingkat permintaan jamur tiram sangat tinggi. Akan tetapi data agregat terebut hanya menjadi permintaan semu pada tingkat mikro seperti permintaan jamur bagi desa Kertawangi.

Terdapat banyak informasi yang diperoleh dari beliau hari ini. Informasi tersebut meliputi gapoktan hingga kondisi keagamaan di desa kertawangi dengan segala tantangannya. Saya secara pribadi mulai melihat program yang tepat meliputi :

1. Penguatan kelembagaan
Penguatan kelembagaan sangat dibutuhkan didalam merintis gapoktan. Penguatan kelembagaan dapat dilakukan dengan melakukan pembimbingan yang berasal dari PPL, akademisi maupun pembelajaran dari gapoktan yang dianggap sukses.

2. Pelatihan Manajemen dan administrasi organisasi
Dengan usianya yang sangat muda, gapoktan ini belum terlihat memiliki manajemen dan administrasi organisasi yang cukup baik. Struktur organisasi terdiri dari ketua, sekertaris, bendahara. Sejauh ini pembagian tugas belum terlihat. Pelatihan ini diharapkan mampu memberi arahan pelaksanaan organisasi gapoktan yang tepat sesuai amanah yang dimilikinya.Selain itu, pelatihan ini diharapkan mengurangi sikap pesimis dari ketua gapoktan.

3. Pelatihan budidaya jamur kuping
Pengembangan budidaya jamur tiram tidak harus hanya terkonsentrasi pada produk itu saja. Diversifikasi produk diharapkan mampu mulai ditempuh. Hal ini dilaksanakan guna melindungi jamur tiram dari over supply yang pada akhirnya akan mengurangi nilai dari jamur tersebut dan berdampak pada pendapatan petani. Diversifikasi produk pun diarahkan pada pengurangan risiko produksi dan pasar. Benar, petani akan sulit untuk diarahkan. Akan tetapi, upaya sudah harus dilakukan. Diharapkan adanya pelaku yang mencoba, karena apabila terdapat pihak yang mencoba dan menunjukan keberhasilan dibidang produksi dan ekonomi maka para petani dengan sendirinya akan menduplikasi.


Informasi lainnya adalah kebutuhan akan laboratorium bagi pembibitan dan meningkatkan produksi jamur tiram. Proyek yang sangat besar apabila kita mampu membantu pengadaan laboratorium untuk jamur tiram. Oleh karena itu, saya memiliki pemikiran untuk mengintegrasikan dengan program LM3 Kementrian Pertanian. Pengadaan dapat dilakukan dengan menggandeng Pesantren Darul Innayah. Selanjutnya program akan menjadi proyek berkelanjutan dari Kementrian Pertanian.

Integrasi ini dapat dilakukan dengan melihat tingkat kebutuhan dari Darul Innayah yang disampaikan Abi pada hari kedua Gladikarya. Beliau menyampaikan bahwa warga membutuhkan pusat pembuatan log. Adanya perusahaan pembuatan log memberikan dampak negatif berupa keenganan petani dalam memproduksi log sendiri. Saat ini perusahaan pembuatan log mejadi dilemma di desa ini. Perusahaan banyak yang failed dan meninggalkan hutang bagi warga yang nominalnya mencapai milyaran rupiah.
Saya berpikir bahwa Program Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3) dapat dilaksanakan apabila kita melihat dari kedua kebutuhan dan potensi yang ada. Kondisi geografis dan pemberdayaan masyarakat melalui lembaga religius dapat dilakukan. Sangat memungkinkan apabila lahirnya LM3 di desa ini dengan konsentrasi “Pemberdayaan Pesantren sebagai lembaga Penelitian jamur tiram, Produksi Input jamur tiram dan pusat pelatihan dan pendidikan pertanian”.

Kerjasama antara gapoktan dan pesantren diharapkan mampu menjadi tonggak lembaga sosial ekonomi yang religius. Kebutuhan masyarakat diharapkan mampu dipenuhi melalui lembaga ini. Nilai religius diharapkan mampu menjadi jaminan pelaksanaan yang lebih bertanggung jawab.

Pemikiran ini sangat sederhanan dan lahir dari seorang mahasiswa yang sedang bergladikarya. Sangat teoritis dan dibutuhkan pegujian untuk mampu diimplementasikan ditengah masyarakat. Teori pada kasus tertentu sangat bertentangan dengan keadaan dilapangan. Mari kita lihat dengan berjalannya waktu.

Selasa, 28 Juni 2011

Catatan Gladikarya (Serie 2)


GLADIKARYA
Hari Kedua
Hari kedua bertepatan dengan Selasa 28 Juni 2011, Gladikarya di desa Kertawangi Cisarua Bandung diawali seperti biasanya. Kedinginan di pagi hari dan berpindah dari satu masjid ke masjid lainnya mencari peradaban. Dari Geografisnya, wajar suhu di desa ini semakin dingin apabila diguyur hujan pada malam harinya. Desa ini di kelilingi oleh gunung yang berdiri dengan perkasa. Angin lembah sangat terasa saat dipagi hari.

Perjalanan hari kedua kami fokuskan dalam observasi bakal dari LM3 (Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat) dan bertemu Tomas (tokoh Masyarakat) desa Kertawangi. Seperti biasa, kami memulai perjalanan pukul 09.00 dari rumah. Naik dan turun gunung seperti biasa menjadi kewajiban kami untuk akses ke dunia luar.

Pelajaran-pelajaran banyak kami temukan dari kegiatan Gladikarya. Memang belum dapat kita simpulkan secara general dari perjalanan kami selama dua hari ini. Terlalu dini mungkin, karena ada kasus teman-teman Gladikarya dimana teman-teman merasa di “tipu” dengan membayar sesuatu dengan harga tidak wajar. Akan tetapi selama perjalanan ini, kelompok kami melihat kesehajaan masyarakat desa dengan segala kesederhanaanya. Kebaikan pemiliki rumah, kami rasakan masih seperti hari pertama. Sejauh ini sangat nyaman.

Perjalanan pertama yang dituju adalah rumah Pak agus, salah satu pengurus yayasan pesantren yang tidak sengaja kami temui. Perjalanan ini untuk mengidentifikasi potensi yang di miliki dalam perancangan LM3. Pada saat tepat didepan rumahnya, ternyata kami sudah di tunggu. Selanjutnya kami pergi ke pesantren dengan menggunakan mobil pak Agus.

Di Pesantren kami bertemu dengan Abi yang merupakan kyai di pesantren tersebut. Ternyata pesantren tersebut merupakan pesantren anak yatim dan duafa yang melaksanakan operasionalnya dari kemampuan bertani dan sumbangan donatur. Selain itu, pondok pesantren tersebut sedang merintis pembangunan agrowisata yang berlandaskan nilai-nilai islami. Kekonsistenan pengurus yayasan didalam mencerdaskan anak bangsa dengan kemampuan ekonomi terbatas dengan mencaoba mandiri dapat menjadi contoh. Abi beserta pengurus lainnya saat ini menghidupi dan mendidik sekitar 160 siswa. Tidak hanya siswa yang normal didalam mental, bahkan terdapat siswa yang membutuhkan perhatian khusus (autis).

Perjalanan kedua kami adalah niat kunjungan di Cibadak untuk berkunjung ke rumah Pak Ajang yang merupakan Ketua Gapoktan Jamur di desa Kertawangi. Didalam perjalananannya, kami sempat “menepi” di pengumpul jamur tiram. Pengumul atau lebih dikenal dengan tengkulak mendistribusikan jamur tiram tersebut dari petani jamur tiram ke pasar yang terletak di Bandung dan beberapa kota lainnya. Tengkulak mungkin memiliki konotasi negatif didalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia. Akan tetapi, apabila kita kaji lebih jauh tidak semua hal tersebut dapat kita generalkan karena pada kasus tertentu tengkulak bahkan menjadi solusi. Solusi berupa penyedia modal kerja bagi petani ataupun bantuan lainnya. Dalam kasus tertentu, kita tidak bisa menyalahkan seluruhnya para tengkulak. Perlu dikaji lebih jauh mengenai dampak negative tengkulak di suatu tempat.

Persinggahan terakhir dilakukan tanpa rencana. Setelah berjalan sekitar 10 menit, kami menemukan P4S di desa tersebut. Kami singgah dan ternyata merupakan rumah dari Bapak Juhiah. Pak Juhiah merupakan salah satu orang yang membawa jamur tiram ke Kecamatan Cisarua. Beliau pun merupakan salah satu pendiri Kelompok Tania Nelayan Andalan (KTNA). Pensiunan polisi ini mengabdikan diri dalam pembangunan pertanian. Waktunya dihabiskan untuk berkeliling Indonesia dalam meberi pengarahan bagi anggota KTNA di seluruh Indonesia.

Kunjungan mendadak tersebut diterima oleh istri beliau, yaitu ibu Hj Neneng. Bu Neneng menjelaskan keadaan jamur di Kertawangi, terutama mengenai kegiatan pengolahan jamur yang dikelola oleh ibu-ibu PKK. Beliau mau membantu kami dalam pelaksanaan Gladikarya bila berhubungan dengan anggota PKK. Sayang Sekali pertemuan hari ini tdak mempertemukan kami dengan Pak Juhiah. Beliau sedang dalam keadaan kurang sehat yang merupakan dampak perjalanan beliau diwaktu yang lalu ke Kalimantan Timur. Diakhir kunjungan, kami memutuskan untuk pergi ke Pasar. Bu Neneng menawarkan tumpangan hingga pasar.

Setelah berbelanja kebutuhan selama Gladikarya, kami memutuskan kembali ke rumah pak karna. Siang hari dihabiskan untuk beristirahat. Sedangkan sore hari dihabiskan untuk berkunjung ke Kota Bandung. Malam hari saya habiskan bertemu teman saat SMP, yaitu Yoga. Kami menghabiskan malam di Seven Café Setiabudi.

Senin, 27 Juni 2011

Catatan Gladikarya (seri 1)




GLADIKARYA
Hari Pertama

Hari pertama Gladikarya di Desa Kertawangi Cisarua Bandung Barat bertepatan dengan Senin 27 Juni 2011. Hari pertama didalam merangkai program pengabdian kami didesa tersebut. Kami yang terdiri dari lima orang yaitu TB sebagai ketua program, Saya, Nuniek, Arifah, dan Rara mencoba memulai dengan bersilaturahmi di Kecamatan Cisarua, desa kertawangi, RW, hingga Tingkat RT. Sosialisai dengan masyarakat merupakan langkah awal dari program kami. Orientasi meliputi perkenalan tokoh, komoditas dan kebutuhan.

Sebenarnya saya ingin menceritakan dari mulai kami melaksanakan perjalanan dari Bogor menuju Bandung. Perjalanan yang seru, menyenangkan, menegangkan dan memberikan pelajaran yang berharga. Akan tetapi, guna menjaga nama dan melupakan kejadian, maka perjalanan menuju Bandung kita hapuskan.

Perjalanan hari ini dimulai dengan mengantar Adnan yang menginap di desa kami. Kesempatan ini saya gunakan untuk mencari sarapan. Di sekitar Biofarma kami menemukan nasi uduk yang lumayan murah. Lima bungkus dan gorengan dibungkus. Sarapan kita bantai dengan sadisnya.
Tanpa kami sadari, sarapan telah menyita waktu. Janji untuk sampai ke kecamatan Cisarua pukul 09.00 wib sulit dipenuhi karena pukul 08.30 wib masih di rumah Bapak Karna. Oh ia, perkenalkan pemilik rumah yang kami tempati milik Pak Karna di dusun Cibolang Desa Kertawangi. Perjalanan akhirnya dimulai pukul 08.40 wib.

Perjalanan yang berjarak sekitar 1,5 km diperkirakan memakan waktu 30 menit. Medan yang kami lewati terjal dan menurun-menanjak. Keringat, cape, dan diiringi angin dan hujan. Hujan deras menyerang dan basah kuyup. Dan akhinya sesuai perkiraan, pukul 09.05 wib sampai di jalan besar dan menemukan kendaraan umum. Dan ternyata topi arifah hilang.

Perjalanan di kecamatan Cisarua untuk bertemu pak camat, perjalanan ke desa, dan bertemu pak RT dan RW tidak terlalu menarik untuk diceritakan. Cerita yang menarik hanya saat berfoto bersama dengan “kontingen” Cisarua lainnya. Cerita lainnya adalah “ngopi dan ngeteh” bersama Bu Narni di Kantor Desa Kertawangi. Terima kasih atas bimbingan Bu Narni dan “cicipan” kue dari Bu Yusalina,hehe. Selain itu, perjalanan yang menarik lainnya adalah pertemuan dengan Pak Agus yang memberikan pencerahan untuk menemukan LM3 (Lembaga Mandiri Yang Mengakar di Masyarat). Beliau adalah salah satu pengurus pesantren yang memiliki kegiatan dibidang agribisnis. Ini merupakan peluang didalam menjalankan program yang diamanahkan Kementrian Pertanian. Sengsara membawa hikmah, karena pertemuan disebabkan hujan yang deras telah mengarahkan untuk meneduh di rumah pak Agus.

Cerita inti di hari ini adalah strategi kami didalam menghemat uang. Dengan strategi untuk menjajaki rumah yang ditempati dan menego biaya makan, maka kami memutuskan untuk hanya membayar sewa rumah sebesar 50 persen. Dengan keadaan ini, diharapkan mampu menunjukan keterbatasan dana sehingga dapat menego biaya makan. Dan kejadian yang mengharukan terjadi.
Uang yang diserahkan kepada Pak Karna diberikan langsung dan hanya kepada beliau pada pukul 15.00 wib. Beliau menerima dan negosiasi makan akan dilakukan langsung ke Bu Karna. Miscommunication terjadi karena terjadi perbedaan persepsi diantara Pak Karna dan anggota kelompok kami.

Kejadian mengharukan terjadi pukul 17.00 wib. Bu Karna yang menerima uang dari Pak Karna secara tiba-tiba memanggil kami. Kami dikumpulkan di ruang utama. Kami sangat kaget karena saat itu kami baru pulang dari dari rumah pak RT dan beristirahat di kamar masing-masing. Suasana tegang dan ruangan gelap karena menjelang magrib. Lampu dimatikan dan kami tidak tahu dimana saklarnya.
Bu Karna ternyata menyerahkan kembali uang muka yang kami berikan. Bu karna dengan ketulusan hati seorang ibu memberikan uang karena kekhawatirannya kepada kami. Beliau menduga kamu tidak memiliki uang sama sekali, bahkan untuk makan sekalipun. Dengan tetesan air mata, beliau serahkan kepada saya. Saya ambil, namun dengan penjelasan saya serahkan kembali. Nuniek memeluk Bu karna, dan Alhamdulilah beliau mau menerima kembali.

Ketulusan hati beliau merupakan salah satu contoh ketulusan hati seorang Ibu. Tanpa merasa bahwa kami hanya tamu, beliau rela untuk rugi asal beliau mampu melindungi kami yang baru satu hari tinggal dirumahnya dan dianggap seorang anak. Dari sorot mata dan kata saat menyerahkan uang, tidak terlihat keangkuhan dan hanya ketulusan. Sungguh mulia hati seorang ibu, dan bersyukurlah bagi kita yang memiliki ibu.

Saya berani mengatakan bahwa Bu karna sangat tulus adalah dari sambutan saat kami datang. Pada saat kami datang, kami disambut dengan hangat. Hangat tidak hanya sikap, namun dengan makanan yang tentunya “hangat”. Perhatian selanjutnya adalah pada malam hari ini, beliau menyediakan makanan bagi kami kembali tanpa kami minta dan harus dibayar. Sungguh, kenyamanan seperti keluarga kami rasakan bersama keluarga pak Karna.

Minggu, 05 Juni 2011

Bila kau Izinkan

Bila kau izinkan.
Izinkan aku mencintaimu seperti bulan yang menjaga malam.
Setia tanpa jeda.
Tanpa asa putus asa.

Bila kau izinkan.
Izinkan aku merangkai mimpi seperti takdir air yang mengalir.
Terpaku tanpa jemu
Tanpa keluh walau peluh

Mimpi-mimpi tanpa hari.
Termenung tanpa jemu.
Merangkai hari pasti
Hanya terpaku didalam kalbu.

Bila kau izinkan aku.
Izinkan aku ucapkan janji suci seperti mentari menjaga hari.
Menunggu tanpa jemu.
Tanpa lelah tanpah pasrah.

Bogor, 4 Juni 2011