Kamis, 14 Oktober 2010

Pembangunan Desa, Ketahanan Pangan, dan FTA



“Ketahanan pangan adalah ketersediaan dan konsumsi pangan yang bertumbuh secara berkelanjutan dan terjangkau harganya oleh masyarakat. Ketahanan pangan itu bisa pada level nasional, regional, lokal, dan keluarga. Hanya dengan ketahanan pangan yang bertumbuh secara berkelanjutan dan keadilan yanb dapat memberikan kesejahteraan kepada petani dan penduduk Indonesia” (Bungaran Saragih, 2007).
Pengertian diatas merupakan pernyataan yang disampaikan Prof.DR.Bungaran Saragih, M.Ec pada saat memberikan penjelasan mengenai ketahanan pangan. Beliau berpendapat bahwa ketahanan pangan dapat dilakukan pada berbagai aspek skala yang pada dasarnya memenuhi kebutuhan dasar manusia secara adil. Pembangunan ketahanan akan pangan dapat terlaksana, bila seluruh pihak bersinergis dalam mensejahterakan petani sebagai tombak utama menjaga ketahanan pangan bangsa.
Adanya cerita kelaparan di Yahukimo (Papua) dan ratusan balita gizi buruk diberbagai daerah bahkan disekitar pusat pemerintahan Indonesia, merupakan sebuah kontradiktif dengan harapan pemerintah dalam melakukan ekspor beras pada 2010 dan pernyataan pemerintah bahwa Indonesia dalam keadaan swasembada beras. Hal tersebut menunjukan bahwa ketersediaan pangan kadang tidak berkorelasi secara langsung dengan ketahanan pangan ditingkat masyarakat. Inti utama dari penguatan ketahanan pangan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat disegala aspek kehidupan sehingga adanya kemampuan dalam mengakses pangan.
FTA dan kenyataan pangan Indonesia
            Upaya peningkatan pertanian guna menghadapi persaingan pasar luar negeri adalah dengan menerapkan kebijakan proteksi dan promosi. Proteksi adalah menjaga pasar pertanian lokal dengan kebijakan tarif maupun kuota oleh pemerintah dan promosi adalah memperkenalan dan menanamkan kebanggaan pada masyarakat dalam mengkonsumsi produk pertanian dalam negeri. Akan tetapi, dengan diberlakukannya ACFTA pada 2010 dan FTA yang akan diberlakukan oleh WTO akan menghapuskan kebijakan proteksi pada titik nadirnya, sedangkan saat ini promosi belum mampu memaksimalkan fungsinya seperti seharusnya. Keunggulan komparatif dan kompetitif suatu Negara akan menjadi penentu penguasaan akan dunia baru yang dikenal dengan perdagangan bebas.
            Pada dasarnya, WTO dengan free trade area-ya merupakan suatu keadilan bagi Negara bagi Negara maju akan tetapi sebuah perjalanan kebangkrutan dan ketergantungan bagi Negara berkembang seperti Indonesia. Pada umumnya, dinegara berkembang sektor pertanian tidak mendapat intensif ekonomi yang memadai. Input produksi yang mahal karena impor dari negara maju, pasar yang terfragmentasi, dan harga rendah yang tidak merangsang produksi mengakibatkan pertanian merupakan kegiatan ekonomi dengan biaya tinggi. Sedangkn pada Negara maju, pertanian diperhatikan dengan subsidi yang tinggi dan mengakibatkan harga yang kompetitif di pasar dunia.
            Merupakan sebuah realita yang ada bahwa sebelum dibukanya keran pasar bebas, bangsa Indonesia telah memiliki ketergantungan terhadap sumber pangan luar negeri. Beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia, telah dioptimalkan dalam pembudidayaan akan tetapi tidak jarang kita masih melakukan impor. Swasembada beras yang kita capai, memiliki sisi lain bahwa Negara kita masih terancam pada kerawanan pangan. Selain itu, sumber utama pangan lainnya masih sangat tergantung pada impor. Diperkirakan, 4,5-5 juta ton biji gandum dan 100 persen diantaranya merupakan impor dari Negara lain. Bahkan, Presiden beserta para mentri melakukan rapat terbatas dengan sangat mendadak hanya karena tempe dan tahu. Mengingat tempe dan tahu menggantungkan sumber input dari kedelai impor. Sebuah keironisan dalam menjaga ketahanan pangan bangsa ini.
            Keunggulan komparatif yang dimiliki oleh Indonesia dalam waktu dekat akan tereliminasi oleh keunggulan kompetitif negara maju dalam pasar pangan lokal maupun internasional. Harga yang lebih rendah produk pertanian impor akan menggerus produksi pertanian lokal dan akan mengakibatkan Indonesia menjadi negara pengimpor pangan terbesar dunia. Dengan jumlah penduduk yang diperkirakan akan tumbuh hingga lebih dari 350 juta jiwa (bila program KB sukses) pada 2035, sedangkan pertanian Indonesia semakin memprihatinkan dengan luas lahan maupun teknologi yang sangat terbatas hanya akan menjadi santapan empuk dari perdagangan bebas dunia.
Pembangunan desa dan ketahanan pangan
            Tombak utama dari ketahanan pangan adalah kesejahteran petani yang sebagian besar hidup di pedesaan. Angkatan kerja terserap 41 persen dan sebagian besar ( 16-17 persen dari penduduk Indonesia) bertempat tinggal dipedesaan dalam kondisi sangat memprihatinkan dengan mata pencarian dibidang pertanian. Pembangunan desa dan kesejahteraan petani merupakan harga mati dalam mempertahankan ketahanan pangan lokal Indonesia. Intensif ekonomi yang akan membawa petani menuju kesejahteraan, merupakan intensif yang tepat dalam peningkatan produksi pangan dalam negeri.
            Sistem Agribisnis terpadu harus diterapkan dalam suatu kawasan di pedesaan, sehingga menciptakan kegiatan ekonomi biaya rendah dalam menghasilkan produk pertanian. Pembangunan input pertanian yang murah dan dekat dengan pedesaan, infrastruktur yang memadai, maupun agroindustri maupun pasar merupakan kebutuhan pokok yang dapat dipusatkan pada pedesaan. Hal tersebut selain akan memandirikan kita dalam ketahanan pangan, akan mensukseskan kegiatan otonomi daerah dan masalah sosial lainnya sepeti urbanisasi dan pembukaan lapangan kerja.
Keunggulan komparatif yang dimiliki oleh alam Indonesia sudah saatnya diarahkan kepada kombinasi terhadap keunggulan kompetitif. Sangat sulit bila harapan mampu unggul secara kompetitif bila kita masih tergantung kepada pihak luar. Sektor input memerlukan penguatan, sehingga input pada budidaya akan lebih efisien dan akan memberikan manfaat rendahnya biaya produksi oleh petani. Hal ini akan berefek pada harga kompetitif produk pertanian terutama pangan dipasar domestik maupun Internasional.
            Diversifikasi pangan kearifan pangan lokal menjadi kunci sukses lainnya dalam menciptakan ketahanan pangan. Pada dasarnya setiap daerah memiliki alternatif pangan yang sesuai dengan kebudayaan lokalnya, akan tetapi kesalahan kebijakan rejim yang  lalu telah mengarahkan pada standarisasi pangan yang sangat merugikan. Penelitian variasi produk pangan lokal dan sosialisasi pentingnya pangan lokal merupakan langkah awal yang harus dilakukan pemerintah dalam mencoba diversifikasi pangan.
            Inti dari upaya peningkatan ketahanan pangan adalah revitalisasi pertanian dalam bentuk keseluruhan. Keseluruhan dalam artian revitalisasi meliputi penguatan industri hulu yang mandiri, budidaya yang diubah dari subsisten menjadi bisnis, penguatan agroindustri, pemasaran yang ditunjang dengan infrastruktur yang baik, sistem penunjang yang memberikan kontribusi yang tepat, dan peningkatan tingkat pendidikan masyarakat desa sebagai aktor utama dalam pertanian primer. 

Rabu, 13 Oktober 2010

Kami adalah Indonesia


Kami hanya kaum yang disisihkan.
Cita-cita bagi kami, hanya sebagai dongeng menjelang tidur.
Berbaju rapih dan duduk dibelakang meja.
Hanya mimpi, hingga saat ini kami tak tahu makna rentetan huruf diatas toko.
Bagi kami, masihkah ada hari esok yang menanti ?

Kami hanya kaum yang dipinggirkan.
Dengan perut buncit dan mata yang cekung.
Sesuap nasi, adalah mewah bila tepat waktu.
Hanya angan, hingga saat ini hidup kami hanya penolakan.
Adakah harapan untuk sebuah kehidupan.

Kami adalah Indonesia.
Tidak merasakan merdeka, walau kata mereka merdeka.
Terpinggirkan dan tersisihkan.
Karena kami adalah Indonesia.