Selasa, 26 Juli 2011

Catatan Gladikarya (Serie 8)


Gladikarya
Hari ketiga puluh
Peternakan susu perah Kampung Cibolang Kertawangi

Pada tulisan terdahulu telah disampaikan tentang potensi yang dimiliki kampung Cibolang meliputi karakteristik dan sumberdaya yang dimiliki. Jalan pagi yang dilakukan di hari ke-30, telah memperlihat secara langsung peternakan susu yang diolah secara tradisional oleh masyarakat Kampung Cibolang. Kampung Cibolang dan segala potensinya sejauh ini masih membutuhkan bimbingan dari pihak-pihak terkait didalam meningkatkan produksi dan mencapai tingkat efisiensi. Tulisan ini dibuat hanya sebagai pendapat pribadi yang dilihat secara observasi di Masyarakat.

Pagi di hari ke-30, saya menyempatkan mengunjungi kandang yang di miliki pak Suyatno. Beliau adalah peternak sapi perah kampung Cibolang dengan jumlah 17 ekor sapi, namun hanya 10 ekor yang dapat diperah karena yang lainnya dalam masa bunting dan merupakan sapi jantan. Setiap pagi, susu yang hasilkan berkisar pada rataan 80 liter dan sore hari mencapai 40 liter. Sehingga dapat di lihat total rata-rata perhari susu yang dihasilkan mencapai 120 liter yang diperhari dari 10 ekor sapi. Sehingga dapat dilihat bahwa rata-rata yang dihasilkan per ekor mencapai 12 liter per hari.

Produktivitas susu perah kampung Cibolang yang mencapai 12 liter per ekor menunjukan potensi yang masih bisa ditingkatkan dengan baik apabila dapat ditangani dengan tepat. Pakan yang diberikan terlihat seadanya dimana pohon pisang menjadi salah satu pakan dominan yang ada. Sedangkan hijauan terlihat komposisinya sangat kurang berikut juga seperti konsentrat. Akan tetapi dari segi ketersediaan air sangat melimpah sehingga terpenuhi kebutuhannya.

Kondisi pakan yang kurang baik menurut saya sepintas disebabkan mutu pakan yang kurang baik. Hijauan dan konsentrat yang kurang dari kebutuhan menyebabkan kualitas yang tidak terlalu baik. Memang terlihat bahwa tidak terlihat lahan di sekitas kampung cibolang yang membudidayakan rumput gajah yang merupakan salah satu hijauan yang sering digunakan. Sebagian besar hijauan berasal gulma kebun. Bahkan setiap harinya hanya terlihat pengangkutan pohon pisang yang telah ditebang yang memang ditujukan sebagai pakan ternak. Padahal kita tahu bahwa penggunaan pohon pisang sebagai pakan akan mengakibatkan kualitas susu yang kurang baik, dimana kandungan air akan berlebih dari susu yang dihasilkan.

Kondisi realita pertanian di Indonesia sebagian besar menunjukan cerita yang sama dengan beragam versi yang berbeda. Ciri khas yang ditampilkan adalah usaha dilakukan dalam skala kecil bahkan subsisten, dilakukan secara tradisional, pelaku rata-rata hanya lulusan sekolah dasar dan di dominasi oleh orang tua. Hal tersebut pun terlihat di kampung ini. Ternak yang dimiliki rata-rata hanya 2-3 ekor per usaha ternak (bahkan ada yang hanya 1 ekor), dilakukan dengan sangat tradisional (kandang tidak layak seperti didepan rumah dan pakan yang terkesan asal-asalan), berpendidikan rendah, dan didominasi oleh orang tua.

Gladikarya mengajarkan kepada saya bahwa realita pertanian di Indonesia sungguh membutuhkan perjalanan yang dipercepat guna tercapainya kesehteraan bangsa. Pertanian sebagai base sector didalam pembangunan bangsa sejauh ini telah terabaikan pengelolaannya. Di butuhkan “petani muda”, yaitu sarjana pertanian, peternakan, perikanan maupun kehutanan yang terjun ke masyarakat sehingga pertanian Indonesia akan terarah dengan baik dan mampu mengejar ketertinggalan yang telah lama terjadi. Ayo sarjana!!!, mari membangun desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar